Tugas kantor selesai. 10 hari di Biak jenuh juga. Masalahnya tidak mudah menemukan pasangan sesama lelaki untuk berasyik masyuk di tempat yang tidak begitu aku kenal. Hari ini aku bersiap pulang. Tiket kapal laut Lambelu menuju Jakarta sudah di tangan. Jam 4 sore dengan taksi dari hotel aku sudah siap memasuki pelabuhan Biak. Banyak juga bawaanku. Dua tas cangklong menggantung di pundakku. Tangan kiriku mencangking bungkusan oleh-oleh. Tangan kananku membawa laptop.
Aku dapat kamar klas 1 yang nyaman. Begitu masuk kamar aku mandi, menyegarkan badan sesudah beberapa jam penuh keringat karena panasnya kota Biak. Terdengar peluit kapal, pertanda 15 menit lagi mengangkat sauh berlayar menuju Menado, pelabuhan transit. Saat berangkat aku naik ke dek. Menonton kota biak yang semakin lama semakin kecil hingga hilang di garis cakrawala. Kemudian sepi. Angin laut dan ombak laut Arafuru menggantikan kenanganku atas Biak yang tidak banyak memberiku kenangan.
Pukul 7.30 malam aku sudah nongkrong di bar Lambelu. Banyak jenis manusia disitu. Ada yang coklat, hitam, kuning, putih, muda, sedang dan tua. Dalam hal berkencan dengan sesama pria, aku tidak begitu menghiraukan mengenai usia, ketampanan atau warna. Aku mudah tergerak kalau aku perkirakan dia berkontol besar. Apapun, siapapun. Aku berpendapat, apapun yang keluar dari pria berkontol besar pasti enak dinikmati. Apapun yang keluar dari lelaki berkontol besar selalu mengkatrol libidoku. Bahkan tidak jarang aku meluruskan persepsi umum. Kalau toh lelaki itu kotor ataupun jorok, sperma yang keluar darinya pasti tetap segar untuk dikenyam-kenyam dan ditelan membasahi tenggorokanku.
Aku memperhatikan di ujung sana ada pria yang duduk sendirian. Nampak kulitnya gelap. Mungkin dari Ambon atau Irian. Kubawa botol dan gelas birku. Aku singgah ke mejanya.
'Hallo Pak, apa kabar? Sendirian? Mau kemana? Dari mana? Tidur dimana? Kamar berapa?'.
Sesudah itu kami terlibat berbagai macam topik pembicaraan. Dari harga beras sampai perang Irak. Dari perempuan yang seksi, hingga lelaki yang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Benar. Dia dari Ambon. Sekitar 56 tahunan. Nampaknya ia adalah seorang kepala atau sejenisnya. Penuh wibawa kepemimpinan. Bersikap melindungi dan rendah hati. Dia seorang insinyur sipil dari perusahaan swasta di Biak yang sedang di tugaskan ke Jakarta.
Aku suka dengan penampilan seperti ini. Wajahnya sedikit berkilap karena sehat. Cara berbicaranya tegas, penuh pemikiran dan konsepsional. Ya, mungkin karena terbiasa dengan tugas dan tanggung jawabnya. Aku berusaha mencuri pandang darinya. Aku ingin tahu apakah ada minatnya pada sesama pria. Masalahnya, aku percaya dengan teori bahwa 10% pria itu homo. Mungkin lebih dari itu yang setengah-setengah alias biseksual. Dan biasanya aku jarang keliru.
Akhirnya dia bicara tentang tubuhnya yang sering pegal-pegal. Mungkin karena umurnya, katanya. Dengan topik ini aku melihat peluang.
'Pernah pijat refleksi Pak?',
'Yaa, saya pernah dengar tuh, tapi belum nyoba'.
Dan aku menggiringnya. Dan akhirnya sampailah ia pada pilihan, pijat di kamarku atau di kamarnya. Setelah mengambil keputusan di kamarnya, dia panggil pelayan. Dia bayar minumannya dan memesan 2 botol bir berikut makanan kecil untuk camilan di kamar. Dia mau membayar minumanku, tapi kukatakan padanya bahwa sudah kubayar.
Kamarnya sekelas denganku, klas 1. Aku minta kakinya diselonjorkan ke pangkuanku sembari mengobrol. Kami sedang bosan menonton TV yang menurutnya acaranya 'begitu-begitu saja'. Ternyata dia tidak tahan dengan pijat refleksi yang memang akan sangat menyakitkan apabila orang yang dipijat tersebut sakit. Akhirnya kutawarkan saja pijat biasa. Dia nampak agak kagok, tahu bahwa aku adalah seorang arsitek. Aku katakan saja, tidak masalah. Dalam perjalanan orang khan harus fleksibel. Aku hanya ingin membantunya sedikit untuk kenyamanan tubuhnya.
Akhirnya dia setuju untuk setengah telanjang, kemudian tengkurap di ranjangnya. Aku mulai dari kaki dan betisnya. Terus terang aku sudah ngaceng. Kulitnya yang itam hitam dengan celana dalamnya yang putih. Bulu-bulu kakinya cukup lebat. Aku membayangkan lidahku menjilatinya. Ah tentu nikmat. Kutunjukkan kalau aku tidak canggung dalam memijat. Tanganku mengurut-urut ke arah dadanya. Demikianlah teknik memijat yang pernah kudengar. Dari betis terus naik ke paha. Aku semakin bernafsu. Akan kubawa dia menyentuh titik birahinya. Kubayangkan saja dia juga berkeinginan sama sepertiku. Sama-sama menunggu perkembangan.
Sengaja urutan tanganku kumentokkan ke pangkal pahanya. Terus kuulangi. Dia menggeliat.
'Uhh, sakit juga yaa', katanya.
Aku tidak tahu persis, sebaiknya mengatakan sakit atau enak. Dan tanganku terus menyodok pangkal pahanya, hingga aku dapat merasakan tepian celana dalamnya.
'Balik Pak', tiba-tiba aku menginginkan dia telentang.
Tanpa ragu dia langsung telentang. Wow, ternyata dalamnya menggunung, dia juga sudah ngaceng. Ngaceng berat. Dan aku aktif menjemputnya. Tanganku meraih gunungan itu dan langsung mengelusnya. Aku tidak berbicara sepatah kata pun, dia juga diam.
'besar banget nih Pak', ujarku sambil terus mengelus dan memijatnya.
Dia membiarkannya saja. Artinya dia telah menerima kehadiranku. Dia menerima elusanku. Dan tentu saja berarti menerima apa yang akan kulanjutkan, meremas kontol itu. Meremasnya untuk menuju ke puncak syahwat.
Dia membalasnya dengan erangan, 'Aaacchh.. enakk..'.
Selesailah perjuanganku. Lenyap sudah knggakpastian yang kutakutkan. Aku langsung merogohnya. Tanganku kumasukkan ke celana dalamnya. Kuraih daging hangat yang sudah sangat mengeras itu. Kuremas kemudian kuurut. Kini tangannya menggapai-gapai.
Dia ingin agar aku menyodorkan kontolku. Aku mendekat. Tangannya langsung meremas celanaku. Aku sudah tidak sabar lagi. Nafsuku mengejar. Kukeluarkan kontolnya dari celana dalamnya. Yang kemudian muncul dari samping celana dalamnya. Cukup besar. Cukup kencang. Aku ingin cepat menciumnya. Aku merindukan bau lelaki. Kudekatkan wajahku. Aku mulai mengendusnya. Kemudian menjilat. Tenyata precumnya sudah meleleh. Titik bening di ujung kontolnya terasa asin di lidahku. Akhirnya, kesampaian juga..
Kemudian secara total aku mengalihkan dari gerakanku yang semula memijat menjadi menghisap kontolnya. Aku bergeser setengah berjongkok di tepian ranjangnya, sehingga memudahkanku melumat kontol itu. Uuuhh, obat kerinduanku, ohh aroma birahii.., ohh pemuas nafsu dan pemenuh rongga mulutku.. Akhirnya dia lebih memilih bersikap pasif. Dia membiarkanku yang berinisiatif. Kulepaskan celana dalamnya. Aku membenamkan diriku pada selangkangannya. Ohh, bau selangkangan dan keringat lelaki yang sangat kurindukan.
Dengan tanganku yang terus memeluk dan mengelus pinggul, turun ke bokong, turun ke paha dan naik turun kembali, aku menjilati seluruh wilayah selangkangannya. Jembutnya yang hitam dan tebal kulumat hingga kuyup. Batang kontolnya kuangkat ke arah perutnya agar melapangkan lidahku saat aku menjilat biji pelernya kemudian pangkal batang kontolnya. Dia sangat terangsang. Desahannya disertai dengan remasan tangannya pada rambutku, kepalaku.
Inilah enaknya berasyik masyuk dengan kalangan berusia tua. Walaupun masing-masing dilanda hebatnya birahi, tetap saja emosinya terkendali.
Aku hentikan sesaat, 'Enak pak..?', sambil kuraih gelas birku dari meja.
Aku minum. Dia juga bangun untuk meminum birnya.
'Heehh enak sekali.. Hebat anda yaa'.
Setelah kutaruh kembali gelasku, aku mulai lagi. Dia tetap duduk di tepi ranjang. Aku mulai dari kakinya.
Kuraih kakinya. Kemudian aku merebahkan tubuh ke lantai kamarnya. Kakinya kubawa ke mukaku, hingga seakan wajahku menjadi alas kakinya. Aku menjilati telapak kakinya. Ooohh.. dia kegelian hingga hendak ditariknya kakinya, tetapi kutahan. Kumainkan jilatanku pada tepi-tepi telapaknya, kemudian ke celah-celah jarinya. Berkali-kali dia menggelinjang ingin menarik kakinya. Dan setiap kali pula selalu kutahan sambil terus menjilatinya. Kemudian telapaknya yang lain kumainkan.
Dari telapak aku terus menyusurin ke atas, lidahku menyisir ke betis penuh bulunya itu. Aku jilat dan sedot pori-porinya. Lidahku yang melumatnya membasahi bulu-bulu betisnya. Dari betis terus naik ke lutut. Dari pengalamanku, lutut sangat peka terhadap jilatan dan gigitan. Dan itu kulakukan pada partnerku ini. Dia menggelinjang dan menggeliat-geliat. Aku tidak melanjutkannya ke paha, tetapi kutinggalkan dulu. Aku langsung meloncat ke dadanya. Bukit dadanya yang gempal, kujilati puting susunya, kugigit. Bibirku mengecupya disusul gigitan, kemudian jilatan. Sungguh paduan jurus nikmat yang sangat kunikmati. Target utamaku adalah ketiaknya. Melihat ketiak berbulunya, aku mulai merambat ke ketiaknya itu. Bibir dan lidahku menyisir bukit dada hingga ke lembah ketiaknya. Bau kecut ketiaknya langsung menyergap hidungku.
Dan begitulah yang terjadi. Karena posisi kami, hidungku selalu merintis wilayah rambahan baru. Sesudah puas menyedot aromanya, bibir dan lidahku menyusul. Sedotan dan jilatanku langsung membuat rambut ketiaknya kuyup pula. Terkadang aku menggigiti bulu-bulu itu dan menarik-nariknya. Demikian kulanjutkan pada ketiak sisi yang lain juga. Setelah aku puas dan dia juga aku yakin puas, aku memintanya berposisi miring. Tetapi tanganku mendorongnya sehingga dia menjadi tengkurap. Aku beringsut. Sedikit bagian tubuhku menumpangi pinggulnya, aku menciumi dan menjilati punggungnya. Dia kegelian menggelinjang. Bibir dan lidahku makin beringsut ke bawah. Hingga kini ciuman dan jilatanku merambah wilayah pinggangnya.
Kini aku tengah menghadapi 'pesta' besar. Aku tidak berhenti. Itu bisa jadi kesalahan, karena akan memutus emosinya yang jelas sudah tenggelam. Yang kulakukan adalah berpindah posisi. Seakan aku datang dari arah kakinya. Kaki-kakinya kutindih dengan tubuhku. Kepalaku berada tepat di atas bongkahan pantatnya. Kini, serangan bibir dan lidahku kupusatkan pada bongkahan bokong itu. Uhh.., bokongnya sangat sensual. Kugigit, kukecup dan kujilat gumpalan bokong itu. Sesekali hidungku kuselipkan pada celahnya untuk dapat menangkap semerbak duburnya. Sementara kedua tanganku meraba tepi punggung dan bawah ketiaknya. Posisi itu terasa sangat nikmat baik bagiku sendiri maupun baginya.
Dan kini saatnya..
Kedua tanganku mengelus bongkahan bokong itu. Kemudian layaknya membongkar durian, aku belah celah bokongnya. Wow.., aku menyaksikan dubur yang dikelilingi rambut-rambut halus analnya. Kembali kubenamkan wajahku ke belahan itu. Aroma duburnya sangat kuat dan sangat merangsang birahiku. Partnerku mengerang lebih keras dan menggeliat-geliat sambil mengangkat-angkat bokongnya..
'Enak Pak.. teruss Pakk.. enak bangett Pak.. uuhh.. enakk'.
Dan aku sangat apresiatif, kuangkat bokong itu dia kini menungging. Kusaksikan kepalanya yang bertumpu pada bantal. Wajahnya menyeringai menahan kenikmatan. Dengan menungging, lubang dubur itu menjadi langsung terbuka. Menjadi lapang bagi hidungku untuk mengendus aroma duburnya sepuas-puasnya. Dan agar lidahku dapat membersihkan serpih-serpih yang barangkali masih ada tersisa di jembut-jembut analnya.
Akhirnya kurobohkan dia kembali. Kutelentangkan kembali. Kontol itu tegang luar biasa. Kini merupakan langkah finishing. Kembali aku menjilat dan mengulum kontolnya. Bapak itu nampak sangat menunggu. Kembali tangannya meraih kepalaku. Dia tekan-tekan kepalaku. Dia ingin agar aku mulai memompanya. Dan aku pun mulai memompanya. Dengan kuselingi menjilat. Terus kupompa. Terus kuseling menjilat, menggigit-gigit. Terus memompa. Makin sering.
Makin cepat. Makin cepat. Makin cepat. Cepat. Cepat. Cepat.
Dia meracau. Merintih. Meremas-remas. Pantatnya dinaik-naikannya. Dia ingin aku menelan kontolnya lebih dalam. Cepat. Cepat. Tiba-tiba dia mengambil alih. Berbalik menindihku. Diseretnya aku untuk bersender pada backdrop ranjangnya. Kuraih bantal untuk punggungku. Kini dia yang memompa mulutku. Makin cepat. Cepat. Cepat. Tentu saja tanganku menahannya sedikit, agar aku tidak tersedak. Dan bagaikan anjing yang melolong.. Teriakan di puncak kenikmatannya menyertai semprotan-semprotan air maninya yang entah.. berapa tetes telah ditumpahkannya ke mulutku.. sehingga membuatku cukup gelagapan.
Bersambung...
Home »
Sesama Pria
» Di kapal Lambelu - 1
Di kapal Lambelu - 1
Posted by Unknown
Posted on 7:58 AM
with No comments
0 comments:
Post a Comment