Home » » Misteri akhir pekan Mila

Misteri akhir pekan Mila

Hampir lama kami tidak bercengkrama mesra. Paling-paling pulang kantor kami janjian di mal atau di suatu restaurant untuk makan. Atau kalau Papi (suamiku) nggak ada, dia datang mampir menjemputku. Kami tinggal nyaris satu kompleks di daerah Purwomartani Sleman, di kompleks yang memiliki pengamanan yang cukup baik.

12 Maret 2004

Walau Papi pergi untuk 4 s/d 7 hari, tidak tiap hari aku dijemputnya di rumah, kadang dia berangkat duluan pagi-pagi atau paling banter kami konvoy. Dan dia paling suka mengemudi di belakang mobil Papi. Katanya,"Secara psikologis lebih enak mengejarmu dari belakang jadi ada motivasi nih.."

Kemarin siang dia bilang kalau istrinya telpon, tidak bisa pulang, sehingga dia diminta datang ke Semarang. Ibu adalah manager personalia di sebuah bank, sementara GM-ku sebelum ke Yogya adalah GM di Semarang. Wah dia regret. Soalnya hotel lagi penuh. Jadilah mereka tidak bertemu akhir pekan itu. Dia langsung mengajakku,

"Mami.. Yuk kita main!?" ujarnya mengingat malam berikutnya Papi akan pulang.
"Di tempatmu aja ya?" aku mengangguk setuju.

Jadi malam itu aku masih di hotel. Maklum besok Sabtu, cuma sampai jam 12. Aku keasyikkan dengan notebookku, sampai tiba-tiba mendapat SMS dari GM menanyakan aku di mana. Dia sendiri baru pulang dari sebuah acara undangan dan kelihatan lelah sekali. Belum sempat menjawab SMSnya dia sudah berdiri di pintu kantorku. Sosok gagah tinggi besar 185 cm dan agak kekar diusianya ke 42 berdiri dengan senyum khasnya dan..

"Eeehh. Belum pulang?" sapanya mesra
".. Khan nungguin Papa," sahutku sekenanya langsung log-off dari 17Tahun.
"Ayo deh. Aku kawal di belakang.." jawabnya seperti biasa"In five minutes. Okay?"
"Yes sir" jawabku dan langsung aku 'rusuh' melipat notebookku dan seterusnya.

13 Maret 2004

Pagi hari dia SMS kalau akan mampir menjemputku. Hari itu aku sengaja berbusana kesukaannya blus berkerah shanghai biru muda satin dengan kancing-kancing putih yang berbaris rapih dan lurus dari leher ke bawah. Kupilih rok abu-abuku. Dan sepatu pemberiannya padaku, haknya tidak terlalu tinggi karena untuk dipakai kerja. Ketika Grand Corollanya berhenti di depan rumahku. Aku segera keluar dan mengunci rumah dari luar.

"Suit, shiuu.. Waduh waduh my honey cantiknya.. dari atas sampai bawah.." sapanya kagum.
"Idiih Papa, ini khan semua Papa yang beliin khan," jawabku manja sambil masuk ke dalam mobilnya.

Hari itu kami sibuk masing-masing. Tiba di rumahku. Aku bikinkan Papa, Nescafe kesukaannya lalu aku gorengkan pisang goreng kesukaannya. Belum sempat kami berganti baju. Bahkan masih bersepatu. Kami duduk nonton DVD, di lantai di atas bantal besar dan di peluknya dari belakang. Hangat.. Sampai kira-kira jam 18.30, kemudian aku beranjak hendak membuatkan makan malam. Diikutinya aku ke dapur.. tahu-tahu Papa melilitkan tali temalinya dengan tali pramuka yang warna putih, ke payudaraku. Mulai atas dan bawah. 4-5 kali lilitan.

"Paa. Sabar dulu, khan mau masak nih.."
"Biar Papa yang masakin buat Mami juga yaa," lembutnya dia berbisik hingga telingaku mulai terasa geli, sambil sementara dia simpulkan ikatan di tubuhku kemudian menarik kedua pergelangan tanganku kebelakang, menekuknya agak ke atas lalu disambungkan dengan tali yang sudah mengikat di dada dan lengkaplah tanganku terikat erat oleh Papa.

Dibiarkannya aku berdiri sambil menyaksikan Papa yang sedang menyalakan kompor. Menuangkan minyak. Kemudian membuat campuran bumbu, menyiapkan nasi yang sudah ada lalu dituangkan semua ke dalam wajan.

"Nasi Goreng ya Paa.??"
"Betul Mami. sudah lapar khan?" aku hanya tersenyum sambil menunggui Papa masak dengan tangan terikat di punggung.
"Kklikk.!" Papa mengambil gambar dengan Nokia 3650 satu kali, dengan Nokia 6600nya sekali.
"Ah. Paapaa." sergahku malu di photo dalam keadaan terikat.
"Mami tunggu dulu di ruang makan deh" Aku beranjak tinggalkan dia (memang kakiku tidak diikat) dan berjalanlah aku dengan tangan terikat. Menuju ruang makan.

Papa segera menyelesaikan masaknya. Membersihkan dapur rumahku, tidak lama dia mengajakku masuk ke dalam kamar. Kami duduk di ranjang. Lalu sendok demi sendok aku disuapinya sambil sesekali di sela dengan tawa candanya serta ciumannya yang hangat dikeningku. Di biarkannya aku di ranjang usai makan. Namun kakiku yang masih bersepatu dia ikatkan jadi satu mulai atas lututku. Lalu ada lagi ikatan di pergelangan kakiku.

"Sebentar ya sayang. Nikmati dulu kesendirianmu. Nanti kalau sudah beres di dapur, pasti Papa segera memelukmu," sambil menghidupkan AC di kamarku. Tinggallah aku sendirian di kamarku. Dengan tangan dan kaki terikat erat dalam kemesraan dan rasa ketergantungan yang tinggi dalam ketidak berdayaan kepada Papa yang mengikatku. Berusaha aku mengatur dudukku. Kemudian merebahkan kepalaku pada bantal serta mengatur posisi tubuhku enggak memiring ke kanan, agar tanganku yang terikat kebelakang tidak perlu tertimpa oleh tubuhku. Karena itu akan membuat tangan ini cepat kaku atau kesemutan.. Saking lelahnya badan ini maka akupun akhirnya terlelap..

Sesaat aku terjaga. Aku menoleh kesebelahku. Ternyata Papa tertidur di sisiku. Bertelanjang dada hanya memakai celana pendek tertidur dengan tangan yang memeluki diriku.

"Paa..?" Aku berusaha menyapanya tapi yang terdengar ditelingaku adalah, "Mmphh?" oh.. rupanya Papa telah menyumbat mulutku dengan lakban peraknya.

"Papaa.. Papa.." dalam hatiku menyadari mulut tersumbat yang menumbuhkan rangsangan sendiri serta ketergantungan padanya, "cepat-cepatlah bangun. Biar aku nggak 'terlantar' begini Pa"

Aku terlena dan kembali terlelap saat aku sadari rupanya Papa sudah terbangun sedang membelai-belai aku. Kemudian dengan 'ganas'nya Papa mulai menciumi leherku, telingaku wah pokoknya seluruh wajahku tidak ada yang luput dari ciumannya. Diiringi desah suara dan emosi jiwanya yang meluncurkan kata,
"Yamo.. (ti amo = cinta) Mami.. Ahh.." berulang-ulang saat dirinya menciumiku habis.
"Mami.. Mmm Maammii.!" desahnya sambil membuka kancing blus shanghaiku pemberiannya saat ulang tahunku dari bawah lalu ke atas dan menyibaknya pelan-pelan supaya tidak rusak. Dengan cekatan dia lepaskan kancing braku yang ada di depan lalu diremas-remas payudaraku dengan lembut, lambat laun lebih kencang. Puting susuku dimainkan dengan lidahnya, diisap-isap mesra.

"Mmh.. Mmmh..!" desahku nikmat dan tenggelam dalam kehangatan dan rasa sayang Papa hingga rasanya aku melayang dengan rangsangannya yang membuat aku semakin dekat dengan orgasme saking sekian lamanya tidak merasakan kehangatan laki-laki, karena seringnya ditinggal suamiku terbang.

Papa kemudian menjelajahi tubuhku dengan ciuman dan lidahnya hingga keujung kakiku yang masih dia biarkan bersepatu model tali melintang di pergelangan, yang dia sebut 'sepatu sexy' itu sementara naluri birahiku semakin meninggi dan kelihatannya Papa tahu gelagatku. Masih di ujung pergelangan kaki, Papa membuka tali-tali yang menyatukan kedua kakiku yang masih terikat pada pergelangan, ditariknya dengan mesra celana dalamku hingga lepas dari kakiku, kemudian mengikatkan kedua kakiku ke ujung kiri dan kanan tempat tidurku. Tidak dilepasnya rok abu-abuku olehnya hanya diangkat hingga pinggang dan kembali ujung lidahnya bermain dari lutut hingga selangkangan, serta merta rangsangannya yang kuat dan oh. Nikmatnya! Membuat vaginaku mulai basah.. Tanpa malu-malu Papa yang seakan tahu kebutuhanku detik itu melepas celananya, dan terlihat penisnya yang sudah sangat menegang itu. Tubuh Papa yang lumayan kekar itu mulai menghimpit tubuhku yang tak berdaya dalam puncak kenikmatan.. "Ccrreett.." lakban peraknya yang menyumbat mulutku dilepasnya,
"Auuwww.!!" teriakku manja lalu Papa mencumbui bibirku, mengulum dengan lidahnya yang menjelajah di dalam mulutku.
"Aaarrgghh.. Papaa.. Jantanku..!" tanpa sadar aku bersuara nikmat saat vaginaku menyambut penis Papa.

Bergoyang keluar masuk dengan kerasnya memberikan kenikmatan yang tidak dapat aku lukiskan dengan kata-kata. Mas. Aku memang dalam keadaan terikat erat tak berdaya. Oleh kebanyakan wanita mungkin dirasakan sebagai penderitaan, namun bagiku, ini adalah 'penderitaan yang sangat nikmat'

"Aaawwhh.." kurasakan cairan menyembur deras di vaginaku.

Papa sudah sampai pada ejakulasi dan telah memberi aku kenikmatan puncak. Memang dengan masalah penyakit kistaku yang belum dioperasi ini, aku tahu persis hubungan kami tidak meninggalkan resiko apa-apa. Maka meluncur deraslah cairan sperma Papa memenuhi vaginaku..
"Aaarrgghh!" Kurasakan kenikmatan puncak dari seseorang yang aku cintai karena perhatiannya dan kehangatannya yang tiada tara. Sungguh aku lupa keadaanku kini, meski ku terikat erat, tali-tali yang mengikatku ini kurasakan sebagai sebuah pelukan yang sangat erat dari Papa, yang seolah enggan melepaskan diriku kembali ke pemilikku yang sesungguhnya.

Lelah kami bercengkrama, lalu akhirnya kami tertidur.. Beberapa jam kemudian

"Paa. Bukain dong tanganku. Saakiitt ni..!"
"Paa." aku berusaha berbisik di telinganya.

Keadaan tubuhku yang belum berubah. Masih terikat tanganku kebelakang. Mulutku sudah tidak di plester lagi namun kakiku masih terikat erat ke masing-masing sudut tempat tidurku

"Saayaang. Lepasin ikatanku dong. Mmhh mm aahh!" kucium mesra telinganya.
"Eeerrgghh..!" erang Papa berusaha bangun dari pulasnya.
"Paa." aku berbisik lagi di telinganya.
"Apa Mamii.!?" jawaban saja yang terdengar dan mata masih terpejam.
"Bukain dong. Kesemutan nich..!'
"Oohh..!" Papa akhirnya terbangun.

Duduk semenit. Lalu mulai melepaskan ikatan di tanganku. Kakiku. Tak lupa dia menciumku hangat sebelum semua ikatan ditubuhku dilepasnya. Jam menunjukkan pukul 4 pagi.. Papa kembali tertidur, sementara aku masih berbaring berpelukan di dada Papa yang bidang itu. Setengah jam kemudian aku bangun, langsung mandi keramas membersihkan sekujur tubuhku.. Sementara mandi aku perhatikan bekas ikatan di pergelangan tanganku.. Tersenyum sendiri..

Tahu tahu Papa masuk langsung memeluki aku dengan hangatnya.

"Eh Papa sudah bangun?" kemudian lagi-lagi tanganku diikatnya ke belakang dengan tali pakaian bathrobeku yang berbahan handuk. Lalu aku digosoki sabun. Shampoo.. Suatu rasa yang sangat sensual dalam sentuhan tangannya, aahh..!!

14 Maret 2004

Papa sudah berangkat kembali ke hotel sekitar jam 10, lalu rencana dia akan pergi ke Semarang untuk menemui istri dan anak-anaknya selama satu malam. Papi (suamiku) memang kembali hari ini semalam, transit dari Jakarta. Besok dia akan terbang ke Bali, langsung terbang ke Sydney dan Melbourne Australia. Mungkin dia akan tiba sekitar jam 7 malam dengan pesawat terakhir dari Jakarta.

Segera aku beranjak, oh.. sudah jam 1 siang. Tidak terasa setelah tadi malam. Hari berlalu cepat. Aku meluncur ke Alfa, rencananya memang mau isi stok lemari es ku dengan makanan biar nanti kalau Papi mau makan, stok tetap ada. Pikirku. Sempat aku melewati hotelku, hotel kami (dengan Papa) dari kejauhan aku lihat mobil Papa segera meluncur keluar..

"Miillaa..!" handphoneku berbunyi, itu adalah telpon Papa yang memang ringtonenya adalah suaranya memanggil..
"Hi honey.!" jawabku
"Mau kemana Mamii.!?" suara diseberang.
"Cuma ke Alfa aja kog. Belanja!"
"Aku pulang dulu ke Semarang yaa.."
"Uu.. uuhh!" ungkapku kesal dan manja.
"Kukembalikan dirimu pada pemiliknya hehe hee!" goda Papa.
"Ya sudah hati-hati di jalan ya sayang..!"
"Yamo.. (maksudnya Ti amo)" kataku.
"Miss u sweety. Mmuuaahh!"
"Mmuuahh Papaa..!" telponpun terputus.

Tibalah aku di parkiran Alfa Gudang Rabat. Segera aku masuk ke dalamnya dan larut dalam keramaian belanja. Saat aku mengendarai Suzuki Escudoku bergegas kembali ke rumah. Jam digital di mobilku menunjukkan 17.30. Hemmh.. Empat jam lagi Papi pulang. Pikirku. Keasyikkan belanja membuat aku lupa akan kejadian semalam.

"Toh semua sudah ku bersihkan.. Sprei sudah kukirim ke laundry. Dan aku telah mampir untuk mengambilnya.. Dan sprei baru sudah kupasang.. Hemm!" pikirku dalam perjalanan pulang. Memasuki pekarangan rumahku, kuparkirkan mobilku.. Lampu rumah dalam keadaan menyala.. Wah Papi sudah landing nih. Hatiku bersorak. Kumasuk ke dalam rumahku.

"Paapii.." riangku.
"Ehh Mami. Dari mana aja? Tadi Papi telpon nggak di angkat.."
"Ah masa..?" buru-buru aku keluarkan hapeku dari tasku.
"Oh. Aku dari Alfa tadi sama mampir laundry.. Sorry sayang, nggak kedengeran. Rame soalnya di Alfa" jawabku lalu mencumbunya.
"Kog cepat mendaratnya. Bilangnya kemarin last flight?" tanyaku.
"Last flight cancel. Jadi aku nebeng aja sama si Tomo, pas dia bawa Boeing 737 jadi banyak seat," jelas Papi yang dari wajahnya terlihat letih.
"Ya sudah. sudah lapar khan. Aku masakin dulu yaa!"
"He eh deh!" Papi assyik memasang DVD terbarunya.

Hariku dengan Papi berlangsung biasa saja tetap dalam kemesraan. Aku nimbrung ikut nonton dvd dengannya sambil bersandar di perutnya yang besar dan empuk he.. he.. hee.. Menjelang malam tiba, aku tinggalkan Papi di ruang tengah karena ngantuk mau tidur.. Segera aku melepaskan bajuku berniat mengganti dengan dasterku, saat aku melepas BHku..
"Cccreett.. Cccreett.." belum sadar apa yang terjadi tanganku sudah terikat dengan lakban perak.
"Cccreett.." lalu mulutku diplester lakban yang sama.
"Mmmpphh.. Mmmpphh..!" protesku membutuhkan penjelasan Papi.. Dia mendorong tubuhku terduduk di ranjang kami lalu..
"Cccreett.. Cccreett.. Cccreett.." kakiku yang belum sempat melepaskan sepatunya sejak dari Alfa tadi sudah terikat jadi satu degan lakban perak itu..
"Wah sejak kapan Papi punya lakban itu??" tak habis aku bertanya.
"Dari mana barang begini?" tanya Papi menunjukkan lakban penemuannya.
"Siapa itu Pa.. Siapa Papa itu? Haahh?" tanya Papi lagi.
"Tadi kamu ketiduran.. Memanggil Papa.. Siapa itu?" (padahal mulutku diplesternya, bagaimana mau jawab??)
"Mmmpphh. Mmmpphh.!" mataku membelalak memprotes hak jawabku yang tersumbat ini.
"Cccreett.!!"
"Aaauuwwhh!!" sergahku kesakitan karena lakban dimulutku dibukanya dengan kasar!
"Papi. Lakban ini aku minta dari engineeringku untuk menempel dus baju yang sudah robek itu? Kenapa sih Papi ini??" aku menghardik balik..
"Siapa itu Papa..?" Papi seolah tidak menggubris jawabanku.

"Siapa mertuamu Papi??" aku nggak mau kalah, masih banyak akalku saat itu.
"Dia sempat menelponku dan memberi nasihat banyak disaat masa tuanya. Sebenarnya aku sedang mengingatnya." mataku berkaca-kaca.
"Terseraahh!!" Papi kesal dan masih emosi lalu kembali menyumbat mulutku dengan lakban dan meninggalkan aku di kamar kami, dikuncinya dari luar sementara dia mungkin tidur di depan televisi di penuhi rasa cemburunya yang tidak beralasan (padahal sebenarnya beralasan) cuma dia nggak punya bukti.

Tinggallah aku sendiri di kamarku, terkunci dari luar dan diriku terikat dengan lakban dalam keadaan telanjang seperti ini, hanya panty yang tersisa. Bingung aku. Memang aku bisa saja menikmati keberadaan ini, tapi untuk sendiri di sebuah ruangan. Terkunci. Tak ada ubahnya dengan penculikan di rumah sendiri. Ngerinya diri ini mengetahui terikat dalam kemarahan seseorang (meski suami sendiri).

Aku menyadari suatu hal, Papi, suamiku terdidik dalam keluarga yang mempunyai disiplin ketat. Bapaknya tidak segan menghukum dengan cambuk atau mengikatnya ke pohon atau kursi saat suamiku waktu itu ketahuan mencuri uang belanja untuk pergi main game. Hemh inikah caranya. Dia marah sama aku lalu aku langsung diikatnya. Belum pernah aku diperlakukan begini sejak hampir 4 tahun kami menikah. Aku lihat Papi ada potensi untuk mengerti 'kebutuhanku' cuma entah bagaimana cara untuk bisa membuatnya tahu kalau aku sebenarnya senang dengan ke'terikat'an dalam arti sesungguhnya. Hanya tidak senang sama sekali dengan keadaan sekarang, diikat sendirian dan dikurung di kamar terkunci dari luar.

Berusaha aku mengendalikan tubuhku yang terikat (atau terpaket) seperti ini serta merta mencari posisi agar tubuhku bisa naik semua ke tempat tidur sambil berharap lakban yang mengikatku bisa terlepas dengan sendirinya. Oh ternyata erat juga si Papi mengikat dan menghukumku seperti ini. Dan karena sebenarnya sudah sangat mengantuk, akupun akhirnya tertidur dalam keadaan yang serupa dengan malam sebelumnya, namun dengan rasa khawatir yang mencekam.. Takut juga kalau tiba-tiba Papi pergi membiarkan aku di rumah sendiri, di kamar terkunci, dan terikat dengan mulut diplester lakban.. Zzz!

Malam semakin larut. Aku melihat jam di sisi tempat tidurku menunjukkan pukul 3.00 pagi. Sejenak aku tersadar, keadaanku masih seperti tadi, tanganku terikat oleh lakban kebelakang, dengan kaki yang masih bersepatu, terikat erat menyatu dan mulut yang tersumbat lakban. Aku masih tertidur sendiri di ranjang pengantin kami, pelan-pelan aku berusaha bisa melepaskan diriku dari ikatan-ikatan yang membelengguku.
"Mmmpphh." basah air liurku kelihatannya bisa membantuku melepaskan mulutku. Demikian peluh di tubuhku diharapkan bisa mengendurkan daya rekat lakban yang hebat ini. Di kamar yang agak panas hawanya karena AC-nya lupa dinyalakan.

Malam yang penuh perjuangan ini belum berpihak padaku sehingga saking capainya meronta-ronta melepas belenggu ini, aku tertidur.

15 Maret 2004

Rasanya sudah jam 5 pagi. Agak ribut di kamar. Oh rupanya Papi baru habis mandi dan tengah berpakaian. Dapat kulihat amarah yang tidak mendasar itu masih menyelimutinya. Akupun pura-pura tetap tertidur. Berharap dia melepaskan ikatanku. Namun rupanya cuma mimpi. Papi yang pagi ini melayani pesawat pertama dari Yogya ke Bali kemudian 5 jam setelah itu terbang ke Sydney dan Melbourne hanya melemparkan gunting di bagian lain tempat tidurku kemudian meninggalkan rumah kami ini di mana istrinya terikat, tersekap sendirian..

Serta merta kugulingkan badanku gulingkan mendekati gunting itu. Memutar tubuhku dalam ketidak berdayaan. Hingga dapat!!

"Tiitt.. Tiitt.." bunyi klakson mobil yang kukenal.
"Oh. Papa??" pikirku. Sukacita di hati ini.

Aku berusaha berdiri. Berusaha berjalan, meski langkahku hanya 10 cm menuju cermin besar yang 2 meter dari ranjangku. Tanganku yang terikat lakban kebelakang menggengam gunting. Aku berhasil sampai di depan cermin dengan selamat, tidak jatuh! Kemudian aku berusaha menggunting lakban itu, sambil menoleh ke cermin namun takut juga melukai tanganku.

"Tiitt.. Tiitt.." bunyi klakson Great Corolla Papa bunyi lagi.

Segera aku berusaha dulu melepas mulutku dengan menggerak-gerakkan bibir bawah dan bibir atasku dengan tenaga dari daguku.

"Paapaa..!" Oh aku bisa kembali bersuara. Lakban itu hanya menempel di bibir atasku.
"Klek.. Klek..!" pintu rumah terbuka.
"Hey Mami. Ada apa dengan kamu sayang?" Papa masuk, terkejut habis melihat keberadaanku, terikat nyaris telanjang semua. Mulut masih berkumis lakban.

"Papaa.." isak tangisku dan jatuh dalam pelukannya.

Papa menggendongku duduk di ranjang kemudian buru-buru melepas lakban dimulutku dengan tuntas, kemudian menggunting lakban di tanganku serta melepas rekatannya dengan pelan dan lembut. Aku langsung memeluknya, padahal Papa mau buka ikatan (rekatan) di kaki ini.

"Ada apa dengan kamu Sweety. Dibilang rampok nggak ada yang hilang, kunci jendela nggak rusak? What is going on darling..?" ciuman dan pelukan Papa membuat rasa takut semalaman pudar sudah.
"Siapa yang membuat kamu begini?" tanya Papa lagi.
"Bilang-bilang dong.. Papa rugi nich..!" seloroh Papa sambil memberikan aku segelas air di dekat tempat tidurku.

Setelah hati ini lebih tenang sedikit.

"Itu si Papi, marah nggak jelas juntrungannya Paa.." aku mengadu.
"Langsung dia ikat aku kaya begini, terus disekap aku di kamar ini, di kunci dari luar" aku masih terisak.
"Ooohh. Kok gitu yaa.. Ya sudah, nanti kamu cerita lagi kalau kamu mau dan sudah tenang, Papa kaget aja pagi-pagi masuk rumahmu.. Hemh.. Kamu sexy banget lho!" goda Papa. Aku yang masih dipangkuannya jadi tersipu malu. Eehh ada yang 'mengeras' pas aku duduki.

"Gih. Mandi dulu sana. Papa bikinin sarapan lalu kita berangkat yuk!" ujarnya seperti biasanya dalam kehangatan yang khas Papa.

Aku segera membuka sepatuku. Membungkus diriku dengan bathrobe lalu berlalu ke kamar mandi sementara Papa beranjak keluar kamar berjalan menuju dapur. Kupasang radio compo di kamarku, 120.36FM eh bisa pas banget.. Lagunya Ruth Sahanaya:

"Ingin kumilikii, dengan sepenuh hati..

Walauku harus setengah terluka mengharap cintamuu..

Ingin ku sayangii. Tanpa terbagi laagii

Apakah mungkiinn, menjalin kasih bila aku tak tahu bagaimanaa, 'kan mencintai dirimu..

TAMAT

0 comments:

Post a Comment