Home » » Srigala lapar, trilogi 2 - the elder 2

Srigala lapar, trilogi 2 - the elder 2

Bulu-bulu tangannya sempat menyentuh tanganku. Aku langsung merinding. Aku tidak mampu berpikir apa-apa lagi. Otakku langsung tumpul oleh darahku yang sudah dikuasai birahi pula. Kurasakan mata Pak Anggoro tak sedetikpun melepaskan pandangan hausnya dariku. Ada sedikit rasa kikuk pada diriku. Adakah yang salah? Atau semata pandangan penuh kekaguman? Tetapi aku berusaha yakin bahwa yang kedualah penyebabnya. Untuk sore ini aku memang sangat hati-hati dalam menjaga penampilanku. Aku memilih dengan cermat apa-apa saja yang akan kupakai. Bagaimanapun aku adalah seorang perempuan yang selalu merindukan kehormatanku. Setidak-tidaknya mata lelaki yang terpesona akan kecantikanku pasti akan sangat membahagiakanku.

Setelah mandi air panas dengan segala pewangi alami yang biasa kugunakan, aku menyiapkan pakaian, aksesori, parfum yang tepat dan make up. Beberapa pilihan dan model baju, rok dan sepatu kupertimbangkan masak-masak. Aku ingin tampil sebagai wanita yang cantik, penuh percaya diri, sensual dan seksi namun anggun. Terakhir, ada 2 baju yang harus kupilih, modelnya hampir sama. Hanya warnanya yang berbeda, yang satu merah muda, dan yang lainnya ungu tua.
Akhirnya kupilih yang ungu tua. Ini cocok dengan deskripsiku tadi, penuh percaya diri, sensual dan seksi namun anggun. Model ini mirip dengan yang kupakai saat berjalan bersama Rendi. Dengan tali kecil tipis pada bahuku yang akan sangat menawan para lelaki, begitu komentar suamiku saat aku memakai baju ini, kain sutra Thailand yang mahal, membuat lekuk tubuhku membayang dengan sangat lembut. Bagi pria penuh selera, begitu kubayangkan lelaki seperti Pak Anggoro ini, penampilanku akan sangat menyentuh selera birahinya. Aku tersenyum sendiri membayangkan kepuasan yang akan kuraih, demi melihat Pak Anggoro yang bersimpuh memujaku.

Untuk bibirku yang tak perlu diragukan lagi mirip bibir Sarah Ashari ini, kulekatkan lipstick Margo yang membuat kesan wet look hingga seakan bibirku basah dan mencuat siap menerima lumatan bibir lelaki manapun. Aku juga memakai parfum La Roche yang sangat lembut tetapi tak akan pernah terlupakan selama bertahun-tahun oleh siapapun yang sempat menyentuhnya. Mengenai rambutku, aku paling senang melepas urai rambutku. Aku merasa kesan kewanitaanku akan sangat nyata karena rambutku ini. Saat terkena angin, kunikmati geraiannya yang sesekali terbang menutupi mukaku, dan saat tanganku menyibakkannya akan menunjukkan pesona diriku bagi lelaki yang berada di dekatku. Dan sesekali kusibakkan rambut ke belakang dengan leherku, yang merupakan pesona sensual sendiri yang terpancar dari gayaku.
Aku juga memakai sepatu warna ungu tua bertali dengan hak tinggi. Warnanya kebetulan pas dengan warna gaun yang akan kupakai. Ini sesungguhnya sepatu murah. Tetapi aku memang tidak gila merk berkat kesadaran dan pengetahuanku tentang desain yang baik. Kuperoleh sepatu ini dari sebuah boutique kecil di Pondok Indah. Dengan sepatu ini nampak tumitku yang lembut mirip telur ayam kampung dan betisku yang sangat aduhai, begitu kata Indri tetanggaku, istri pelaut yang lesbi dan sangat suka menggigiti betisku ini.

Makanan pesanan Pak Anggoro datang. Pelayan menurunkan makanan tersebut dari meja dorongnya. Kusaksikan surprise Pak Anggoro untukku. Pertama, tiram rebus yang diimpor khusus dari Laut Tengah dengan kaviar ikan sturgeon dari sungai Mekong. Disuguhkan di atas kulit tiram keperakan yang cukup besar. Kedua, salad mangga dengan lemon yang dibubuhi prosciutto atau ham Itali. Kemudian segelas red wine. Pak Anggoro sangat tepat dalam membaca selera makan impianku. Semua makanan itu sangat ideal bagiku yang selalu mempertimbangkan bobot tubuhku. Makanan-makanan pilihannya itu tepat energi dan tidak mengancam kolesterolku. Aku tidak tahu berapa harga untuk semua makanan super mahal itu. Dan untuk Pak Anggoro sendiri, dia hanya minum teh Assam dari India dengan gula batu.

"Silakan, Bu Adit. Ini sekedar apetizer. Nanti makan besarnya di kamar saja. Saya sudah atur".
Sekali lagi dia meremas jari-jari kiriku. Selangit rasanya aku tersanjung.
"Aku memang hanya minum teh seperti ini, dimana saja, kapan saja".
Diam-diam setiap kali kulirik Pak Anggoro. Dia terus menerus menatapku bak serigala yang benar-benar lapar. Tetapi dengan usianya yang sudah cukup sepuh, walaupun birahinga datang memacu, dia adalah serigala yang bijak dengan ketenangannya yang luar biasa. Dia sangat menguasai medan dan iramanya yang terus mengalir penuh improvisasi. Dan dia selalu memiliki jalan keluar untuk menghindarkan suasana kebisuan. Sambil meremas jari-jariku, dia menanyakan cat kukuku, gaun sutraku, warna lipstick-ku, aksesorisku dengan penuh antusias.

Setelah aku menikmati hidangan hebat ini, Pak Anggoro mengajakku beranjak. Pada billingnya kulirik tagihan makannya, US$ 250. Wow, paling tidak hanya dalam tempo 5 menit telah kutelan Rp. 1,5 juta masuk ke perutku.
President Suite Pak Anggoro berada di lantai 7. Dari tempat ini nampak panorama malam Jakarta yang penuh lampu-lampu. Begitu memasuki kamar, kuperhatikan ruang tamunya yang besar dengan sofa-sofanya yang mewah. Tempat tidurnya King Size yang mewah pula. Pak Anggoro duduk di salah satu sofa yang tersedia, kemudian memanggilku, memintaku duduk di pangkuannya. Dengan kesadaran birahi seorang perempuan taklukan dan budak yang harus patuh pada tuannya, aku mendekat. Bukankah aku tawanannya, kini?

Belum pernah seumur-umur aku mengalami tremor hingga gigiku menggerutuk menggigil seperti ini. Seorang bapak, boss yang sangat gentleman, kharismatik, memanggilku dan memintaku duduk di pangkuannya. Dia begitu percaya diri, bahwa semuanya pasti akan beres. Sikapnya itulah yang membuatku langsung bertekuk lutut. Dan saat telah berada di dekatnya, tangan kanannya menjemput, meraih pinggulku dan dengan penuh kelembutan ditariknya aku ke pangkuannya. Sambil membenamkan wajahnya ke leherku, Pak Anggoro berbisik.
"Bu Adit, kamu sangat mempesonaku. Bu Adit sangat cantik. Sangat seksi".
Tangan kananku secara otomatis merangkul bahunya agar aku tidak terjatuh. Sementara itu tangan kanan Pak Anggoro meraih paha kiriku agar posisi dudukku lebih ke tengah pangkuannya. Mendengar bisikannya, semangat birahiku langsung hadir. Aku ingin mendapatkan lebih dari sekedar bisikan di leherku. Tangan kiriku kurangkulkan ke lehernya hingga kedua tanganku saling berpegangan di belakang kuduknya. Posisi seperti itu menggiring wajah Pak Anggoro lebih bergeser ke dadaku. Tenggelam ke bukit-bukit ranumku yang sudah setengah terbuka karena model gaunku yang memang menampilkan belahan payudaraku. Pak Anggoro menyapukan wajahnya pada dadaku. Menghirup aroma dari dadaku itu.

"Paakkhh.., hh..".
Kurasakan tangan Pak Anggoro mulai menyingkap gaunku. Tangannya mengelus pahaku yang sintal ini. Aku semakin merinding. Akhirnya kami saling melumat. Ciuman Pak Anggoro sungguh maut. Ciuman seorang pria yang telah matang dan penuh perasaan serta penghargaan pada lawan mainnya. Dari sebuah ciuman, kurasakan bahwa Pak Anggoro bukanlah lelaki egois. Dia mau menerima dan sekaligus juga menikmati saat memberi. Lidahnya yang besar menyeruak ke rongga mulutku, mengorek dan mengisap ludahku sambil tangan kanannya mulai menelusuri celah selangkanganku. Aku mulai menggelinjang dan serasa terbakar darahku. Birahiku mulai memanas dan menanjak.

Ciuman Pak Anggoro membuatku benar-benar terhanyut. Mau tak mau aku tergerak untuk memberikan respons dengan penuh perasaan juga. Aku menyedot lidahnya, juga ludahnya. Dan Pak Anggoro memberikannya untukku. Aku rasakan kini, bahwa dengan ciuman saja kita bisa mendapatkan ribuan warna dan nuansa, dimana setiap warna dan nuansa itu benar-benar memiliki bentuk kenikmatan yang berbeda-beda. Dan itu berkat pemahaman akan makna ciuman dengan gerakan anggota tubuh yang lain yang sama-sama menggiring sensasi kita dalam menapaki birahi yang diharapkan akan terus memuncak.
Saat menyedot lidah dan ludah itulah, tangan Pak Anggoro menelusuri tepian celana dalamku di celah selangkanganku. Paduan kerja lidah dan tangan seperti inilah yang membuatku terbawa melayang-layang dalam langit penuh kenikmatan. Dan aku harus belajar menyelami irama dan makna dalam menapaki birahi ini. Saat aku harus melakukan balasan ciuman atau sedotannya, aku mulai dengan sedikit menggoyang pinggulku, untuk menunjukkan pada Pak Anggoro betapa nikmat sentuhan yang dilakukannya pada tepian celana dalamku itu.

Tidak keliru jika dikatakan bahwa seks itu sesungguhnya merupakan suatu seni. Ciuman, rabaan, desahan, rintihan, goyangan bahkan sibakan rambut atau cubitan kecil di pinggul atau jambakan rambut hingga lawan cumbunya merasakan pedihnya kulit kepalanya atau cakaran kuku-kuku pada punggung. Hal seperti itulah yang harus dimiliki oleh para suami dan istri. Dan hal seperti itulah yang kuanggap tidak pernah secara serius diusahakan oleh suamiku sendiri, Mas Adit. Dia hanya seorang egois yang hanya asyik dengan pekerjaannya. Dia tak pernah mengusahakan bagaimana agar istrinya juga mendapatkan kepuasan. Bukan sekedar kepuasan materi. Dia sama sekali tidak pernah merasakan apa sesungguhnya yang kubutuhkan. Lembutnya bercumbu dalam ciuman, nikmatnya sapuan lidah yang sesekali merambah ke daguku, gigitan bibirku pada bibirnya atau sebaliknya, erangan dan desahan kecil dari mulut-mulut kami, remasan-remasan jari-jari lentikku pada kuduk Pak Anggoro, rabaan jari-jari Pak Anggoro pada tepian celana dalamku yang sesekali melewati batas tepian itu dan menyentuh atau mengusap atau bahkan memilin bibir-bibir vaginaku telah menggiring semakin jauh dan tingginya nafsu birahi kami.

Kurasakan Pak Anggoro semakin terbakar hingga panasnya juga langsung membakar diriku. Nafsu ini setapak-setapak menanjak. Dan rasanya pada saatnya akan meroket. Aku sudah dapat merasakan kalau pangkuan yang sedang kududuki menggelembung. Kontol Pak Anggoro sudah mengganjal di bokongku. Setiap kali aku harus memepetkan tubuhku agar lebih mepet ke tubuhnya. Sekali lagi Pak Anggoro menunjukkan improvisasi matangnya. Dia raih kaki kananku dan diangkatnya hingga kini aku setengah miring dan setengah membelakangi tubuhnya. Kakiku di sandarkannya ke sandaran jok sofa. Dan akibatnya selangkanganku menjadi terbuka dan gaunku melipat ke pinggulku hingga celana dalamku langsung tampak.
Kini tangan kananku yang tidak lagi menggelayut pada lehernya kuangkat ke atas belakang jatuh ke tangan sofa kiri tanpa pegangan. Ketiakku terbuka lebar, demikian pula dada dengan belahan payudaraku.

Bibir Pak Anggoro lepas dari bibirku. Pagutan dan ciumannya berubah menjadi sedotan dan jilatan pada ketiakku. Sementara tangan kanannya mulai meliar meremas memekku dan jari-jarinya mulai menembus lubang vaginaku. Aku mulai mendesah histeris. Tangan kiriku serta merta meraih rambutnya yang setengah botak itu dan meremasnya dengan penuh kegatalan birahi. Betapa kenikmatan birahi dalam kualitas yang sangat tinggi tengah menyeruak dalam relung tubuhku dan terus memacu libidoku untuk terus menapaki ke jenjang puncaknya. Kegatalan pada liang vaginaku memaksaku untuk menjerit lembut sembari mengangkat pantatku untuk menjemput jari-jari Pak Anggoro yang telah menari-nari dalam liang surgaku.

Tiba-tiba aku ingin sekali meraba dan mengelus dada Pak Anggoro yang tentu bulunya lebat sebagaimana yang kulihat pada tangan-tangannya. Tangan kiriku melepaskan remasan rambutnya menuju ke kancing-kancing kemejanya untuk melepaskannya. Walau hanya 2 atau 3 kancing yang terlepas, telah cukup bagi tanganku untuk menyeruak masuk mencapai dadanya yang gempal penuh bulu itu. Perasaan merinding kembali menyergap nafsuku saat tapak-tapak tanganku merasakan lebatnya bulu dada Pak Anggoro. Kuraba tubuhnya lebih ke dalam seakan hendak memeluknya. Lagi-lagi aku mendesah hebat.

Goyangan pinggul serta gerakan pantatku untuk menahan kegatalan serta menjemput tusukan jari-jari Pak Anggoro dalam liang vaginaku membuat ciuman dan jilatannya semakin meliar pada seluruh wilayah dadaku. Dengan bantuan tanganku, Pak Anggoro kini juga sudah menyedot putingku yang semula masih tersembunyi dalam BH-ku. Kenikmatan ciuman dan jilatan Pak Anggoro telah mendorong tanganku untuk merogoh payudaraku keluar dari gaun dan BH-ku.

Bersambung ...

0 comments:

Post a Comment