Sebentar dia membungkukkan badan agar dapat dengan hati-hati mengusap kulit di sekitar penjepit pada vaginanya, tapi hal itu menyebabkan gagang penjepit di payudaranya terdorong oleh badan di bawah dadanya. Hal ini menyebabkan jepitan itu terdesak ke atas sehingga menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Menyadari hal ini, secara reflek tubuhnya tersentak ke belakang. Namun hal ini justru menyebabkan otot-otot di bagian bawah pinggangnya menegang, sehingga jepitan pada ketiga titik di vaginanya terasa makin kencang. Otomatis dia membungkukkan lagi badannya, dan kejadian sebelumnya terulang kembali. Begitu berulang-ulang. Surya dan Lisa berciuman dengan puas menyaksikan hasil karya Lisa yang menyebabkan Ratih melakukan gerakan-gerakan erotis yang menggairahkan itu.
Perlahan-lahan Ratih mulai dapat mengendalikan dirinya. Rasa sakitnya sudah berkurang, namun kedua organ kewanitaannya masih terus berdenyut, mengingatkannya selalu pada keadaannya. Setelah merasa agak baikan, dia melipat lututnya dan kembali pada posisi merangkak.
"Oh, kau sudah siap? Ayo kita lanjutkan!" sambut Lisa, "Eh, nanti dulu! Kau tidak boleh melupakan buntutmu!" katanya sambil menggeser sisir yang tadi terlepas selama perjuangan Ratih, dengan kakinya.
Ratih memungut sisir itu dan kembali memasangkannya. Kali ini agak susah, karena disamping setiap gerakannya menyebabkan jepitannya kembali membangkitkan rasa nyeri, kini lubang anusnya mulai kering, sehingga jalannya gagang sisir itu agak seret.
"Pakai ludahmu agar gagangnya licin!" Lisa memberi petunjuk.
Ratih menurut. Diludahinya gagang sisir itu, lalu diusap-usapnya agar merata. Kembali dicobanya memasukkan gagang itu. Pelan-pelan, dengan menahan rasa sakit, akhirnya dia berhasil juga membenamkan gagang sisir itu ke tempatnya.
"Oke, mari kita berangkat!" ajak Lisa sambil menyentakkan rantai di leher Ratih.
Kini mereka masuk kembali ke dalam rumah dan menuju ruang tamu tempat mereka semula.
"Mam, Papa sudah enggak tahan, nih! Kita ke kamar, Yuk?" ajak Surya.
"Ayo, Mama juga sudah enggak sabar melihat permainan Papa!" sambut Lisa manja. "Kamu saya undang untuk menyaksikannya, mau?" ajakan Lisa kepada Ratih jelas-jelas merupakan perintah.
"Sekalian bawa tali-tali itu! Kita akan memerlukannya nanti."
Mereka lalu melangkah kembali ke kamar tidur. Ratih terpaksa membuntuti dari belakang, karena Lisa tetap menyeret rantai di tangannya yang berhubungan dengan leher Ratih. Lisa mengamati keadaan ranjang dengan seksama. Tampaknya dia sedang merencanakan sesuatu. Ranjang itu terbuat dari kayu jati. Pada bagian kepalanya terdapat hiasan berupa kayu selebar ranjang dan berukir menempel tegak, memungkinkan orang untuk bersandar. Ukiran-ukiran pada kayu itu membentuk banyak lubang, kira-kira sedikit lebih besar dari ibu jari. Pada kedua ujung kayu di bagian kepala tersebut terdapat bagian yang menonjol. Di kedua sudut kaki ranjang itu hanya terdapat semacam tonggak pendek berukir dengan bulatan besar pada ujungnya, seperti gada. Di tengah-tengah kedua tonggak itu terdapat sebuah hiasan lagi berbentuk sepasang sayap pendek dengan celah di antara keduanya.
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, dia mengarahkan Ratih ke bagian kaki ranjang. Lisa mengatur posisi Ratih. Rantai yang berhubungan dengan kekang di lehernya, dibelitkan berulang-ulang mengelilingi kedua sayap kayu kecil tadi, menyebabkan lehernya tertarik mendekati kedua celah di antara kedua sayap itu. Sisa rantai antara lehernya dengan celah itu hanya sekitar 20 cm. Kemudian Ratih disuruh berdiri. Namun karena Ratih tidak dapat mengangkat kepalanya, dia terpaksa menungging dengan bagian pantatnya jauh lebih tinggi dari kepalanya.
Selanjutnya Lisa mengambil tali yang dibawa Ratih tadi dan dilepaskan dari gulungannya. Salah satu ujungnya diikatkan pada pergelangan kaki kanan Ratih. Ujung lainnya dijulurkan ke kaki ranjang sebelah kanan, terus ke kaki ranjang di sudut lainnya, dan berakhir dengan belitan pada pergelangan kaki kirinya, menyebabkan dia harus merenggangkan kaki selebar-lebarnya.
Sementara itu Surya membuka gulungan tali yang lain. Salah satu ujungnya ditambatkan pada kaki kanan Ratih, sedikit di atas lutut, dan menariknya ke tonggak gada sebelah kanan. Agak berbeda dengan Lisa, setelah membelit tonggak, Surya menariknya kembali lalu membelitkan pada pinggang Ratih, untuk selanjutnya diteruskan ke tonggak sebelah kiri, belit, ditarik kembali, dan berakhir dengan simpul di kaki kiri Ratih, sejajar dengan belitan pada paha kanannya tadi, sedikit di atas lutut. Kini Ratih sudah tertahan pada posisinya, mengangkang dan menungging, tanpa mampu bergeser maupun merapatkan kakinya. Surya dan Lisa sambil berpandangan dan tersenyum saling memuji hasil karya mereka. Namun rupanya itu belum cukup.
Kembali Surya mengambil segulung tali lagi. Ditariknya kedua tangan Ratih ke belakang punggung, dan diikat menjadi satu. Ikatan tersebut kemudian dibelitkan pada tali yang melingkari pinggangnya, lalu diteruskan ke arah kepala Ratih. Dirapatkannya rambut Ratih untuk kemudian diikat dengan tali tadi. Setelah yakin bahwa ikatan pada rambut itu cukup kencang dan tidak mungkin tergelincir lepas, diteruskannya sisa tali tadi masuk ke celah antara kedua pergelangan tangannya. Ditariknya kencang sehingga tangan Ratih tertarik mendekati bahu, sementara kepalanya mendongak karena terjambak oleh ikatan pada rambutnya tadi. Dibelit-belitkannya ujung tali yang masih tersisa pada tali yang menyatukan tangan dengan rambut tersebut hingga habis, dan lalu membuat simpul. Belitan ini menyebabkan tali semakin menegang yang mengakibatkan Ratih harus semakin mendongakkan kepalanya.
Surya menghampiri Lisa menunggu komentar atas karyanya ini. Lisa memberikan applause dengan merentangkan kedua tangannya menyambut kedatangan Surya. Mereka berpelukan dengan mesra disaksikan oleh Ratih yang tidak dapat menghindar untuk tidak menyaksikan pemandangan itu. Dengan posisinya sekarang ini, Ratih tidak dapat menolehkan kepalanya kemanapun. Dia terpaksa harus menyaksikan setiap peristiwa yang berlangsung di hadapannya.
"Bagaimana, Ma, bisa kita lakukan sekarang?" tanya Surya.
"Sebentar dulu, Sayang!"
Lisa mendekati Ratih dan melepaskan semua jepitannya. Ratih meronta kesakitan setiap kali sebuah jepitan dilepas. Hal ini karena darah yang kembali mengalir menyebabkan indera perasanya aktif kembali. Meski demikian Ratih merasa bersyukur karena penderitaannya berkurang. Tapi dia salah sangka jika mengira Lisa menaruh iba, sebab ternyata ini hanya pemindahan tempat belaka.
Lisa kembali menjepitkan sebuah pada masing-masing daun telinga Ratih. Berikutnya dia memerintahkan Ratih untuk menjulurkan lidahnya dan kemudian dijepit pula pada kedua sisi kanan-kiri lidahnya. Ratih tidak dapat mengelakkan semua itu. Kini, setelah dipasangi penjepit, maka dia tidak dapat menarik masuk lidahnya, karena terhalang oleh gagang penjepit yang menyangkut pada kedua sudut bibirnya.
Surya mengangguk-angguk memuji ide Lisa sambil beranjak naik ke atas ranjang. Mereka bercumbu dengan mesra. Pakaian luar mereka telah tercampak di lantai. Berikutnya Lisa menanggalkan pula BH pink yang dikenakannya, sehingga Surya dapat leluasa menciumi payudaranya yang telah menegang. Tubuhnya bergelinjang menikmati hisapan Surya pada kedua putingnya berganti-ganti.Sesekali mereka tertawa terkekeh-kekeh ketika memandang Ratih yang tetap dalam posisinya tadi. Tawa mereka akhirnya meledak ketika melihat air liur kental yang menetes dari lidah yang terjulur itu.
"Ih, ngiler, ngiri, tuh..!" Ledek Lisa. "Mau ikutan..? Enak aja, enggak lah ya..!"
Surya bangkit mengambil botol parfum yang agak besar, dan membuka tutupnya. Digunakannya tutup botol itu untuk menampung ludah kental Ratih. Mereka menyaksikan itu sambil tertawa-tawa geli menunggu hingga isinya cukup banyak. Kemudian Lisa mengambil kuas dari meja rias. Dibenamkannya ujung kuas ke dalam tutup botol itu dan lalu mengoleskannya ke wajah Ratih. Ratih menutup mata tidak kuat menyaksikan mereka mempermalukan dirinya dan juga didorong oleh perasaan jijik.
Namun rupanya Surya tidak mengijinkan, "Buka!" bentaknya, "Awas, kalau berani memejamkannya, akan saya jepit kelopak matamu agar terbuka terus!" ancamnya.
Maka Ratih pun kembali membuka matanya, pasrah menerima segala perlakuan mereka. Surya mengambil kuas lain dan membantu Lisa sambil tertawa-tawa mengejek. Kening, alis, kelopak mata, batang hidung, pipi, bibir, setiap permukaan wajah itu tidak luput dari sasaran.
Air liur di dalam botol telah habis. Surya merangkulkan tangannya menarik Lisa untuk kembali melanjutkan pertarungan mereka ke babak berikutnya. Lisa menurut dengan merebahkan badannya ke ranjang.
Namun gerakannya tiba-tiba terhenti, "Sebentar dulu, Pa!"
Diangkatnya sedikit pinggulnya dan meloloskan celana dalamnya. Lisa mendekatkan celana dalam itu ke hidungnya, dan mengendus-endus sambil mengerutkan dahi.
"Hmm.., Amis!"
Lalu digulungnya benda itu hingga menyerupai bola kecil sambil memandangi Ratih dengan senyum licik. Dia mendekati Ratih dan mengulurkan tangan melepaskan jepitan pada lidahnya. Kemudian sambil tertawa kecil dia membenamkan gulungan celana dalamnya ke mulut Ratih.
"Enak, kan? Asal tahu saja, celana dalam itu sudah kupakai sejak tadi pagi. Ha, ha, ha..!" ejeknya. "Kamu tahu, kan, malam ini aku belum mandi. Jadi aromanya pasti luar biasa."
"Bagus, Ma! Perlu ditambah enggak dengan punyaku?" tanya Surya sambil bangkit.
"Haa..?" Lisa sempat kaget mendengar usul Surya, namun segera tertawa dan mengangguk, "Mana, Pa? Boleh juga, tuh!" sambil mengulurkan tangannya.
Surya mengangkat pinggulnya dan memberikan isyarat.
Mereka kembali tertawa ketika Lisa mulai menarik copot celana dalam Surya dan menggulungnya. Gulungan milik Surya ini lebih besar daripada punyanya tadi, sehingga Lisa perlu agak mengerahkan tenaga untuk membenamkannya hingga masuk seluruhnya ke mulut Ratih. Pipi Ratih menggelembung menerima keduanya. Lengkungan huruf O yang dibentuk bibirnya mendekati sempurna.
"Wah.., ternyata besar juga mulut budak kita ini, ya Pa?" ejek Lisa, "Makannya banyak, ya? Wah, rakus baget! Masak satu tidak cukup, sampai harus dua buah sekalian baru pas? Dasar Rakus!"
Mereka terus mengolok-olok penampilan Ratih dengan kata-kata yang sangat menusuk disertai tawa renyah yang bersahutan.
Kini mereka kembali rebah untuk segera melaksanakan pertarungan yang sesungguhnya. Surya telah menancapkan "senjata andalannya" ke "markas besar" Lisa. Mereka mengayun-ayunkan pinggul berirama. Tangan Surya meremas-remas kedua payudara Lisa. Lisa membalas dengan menggaruk-garuk dada Surya yang bidang. Napas mereka kian cepat dan tersenggal-senggal, seiring dengan kian cepatnya ayunan pinggul mereka.
Sesekali terdengar suara desahan, "Ah.., ah.., ah.."
Tidak lama kemudian Lisa mendongakkan kepalanya. Sekujur badannya menegang. Terdengar desahan panjang ketika tubuhnya bergelinjang seiring dengan orgasme yang telah dicapainya. Lisa kalah dalam pertarungan itu, namun dia menerimanya dengan penuh kenikmatan. Sementara itu Surya terus memompa senjatanya kian cepat. Tubuhnya mulai menegang, lalu tiba-tiba dia mencabut senjatanya dan berbalik menghadap Ratih. Dengan tergesa-gesa dicabutnya celana dalam yang menyumbat Ratih dan bergegas memasukkan senjatanya sebagai pengganti.
Hanya dalam hitungan detik tubuhnya terlonjak mencapai kenikmatan. Senjata pusakanya telah memuntahkan amunisinya tepat ke dalam mulut Ratih yang tersedak-sedak menampungnya. Kemudian Surya mencabutnya dari mulut Ratih untuk kemudian menyemprotkan sisanya ke wajahnya. Lendir kental bergumpal-gumpal melapisi wajah Ratih. Surya menyapukan penisnya ke setiap bagian wajah Ratih sambil tertawa puas. Akhirnya dia mendekatkan penisnya ke mulut Ratih dan memerintahkan wanita itu menjilatinya hingga bersih.
"Wah, rupanya ada mesin cuci istimewa disini!" seru Lisa seraya bangkit.
Dengan cermat dia mengawasi pekerjaan Ratih. Dirabanya penis Surya, dan mengangguk puas mengetahui betapa Ratih telah melaksanakannya dengan baik.
"Saya mau coba juga, Ah!" lanjut Lisa sambil duduk di pinggir ranjang, tepat di hadapan Ratih. Dimajukannya selangkangannya hingga hampir menempel dengan mulut Ratih.
"Bersihkan punyaku juga, Budak baik! Saya lihat kamu punya keahlian yang perlu dibanggakan, ha, ha, ha..!" ledeknya.
Kembali Ratih patuh dalam kepasrahannya. Dengan menahan jijik dia berusaha memuaskan hati Nyonyanya. Tubuh Lisa kembali menggelinjang akibat sentuhan lidah Ratih pada daerah sekitar Vaginanya. Beberapa saat kemudian Ratih agak menjuhkan mulutnya. Menyadari budaknya telah berhenti menjalankan tugasnya.
"Mengapa berhenti?" tanyanya. "Sekalian dalamnya dong, Budak!"
Ratih menjulurkan kembali lidahnya, kali ini ke arah belahan vagina Lisa. Diusap-usapnya perlahan, lalu dengan agak memiringkan kepala, dia dapat memasukkan lidahnya hingga ke bagian dalam.
"Ahh.., hisap.., sedot sampai bersih! Aahh.., yaa.., agghh..!" Lisa memerintahkan sambil berdesah merasakan gairahnya yang kembali bangkit.
Menyadari betapa Lisa kembali terangsang, Surya bangkit dari tempat tidur dan bergerak ke belakang Ratih. Ditariknya gagang sisir yang selama ini terus tertancap di anusnya, ternyata telah seret. Pinggul Ratih sedikit terangkat dengan tegang ketika Surya melakukannya.
"Hmm.., sudah kering!" dengus Surya.
Lalu dia meludahi gagang sisir itu beberapa kali, untuk kemudian memasukkannya kembali.
Pinggul Ratih melonjak-lonjak kesakitan ketika Surya mempermainkan gagang sisir itu di dalam anusnya. Tangannya menegang. Muncul rasa sakit lain pada kulit kepalanya. Rambutnya terjambak oleh tarikan tangannya sendiri yang menegang menahan sakit pada anusnya. Dia teringat betapa rambutnya telah diikat dan dihubungkan dengan tangannya, jadi setiap kali dia menggerakkan tangan, maka dia akan menjambak rambutnya sendiri. Buru-buru dilemaskannya tangannya kembali, namun rasa sakit pada anusnya memaksa seluruh tubuhnya tetap tegang. Akhirnya Ratih menyerah pada keadaan itu, dan kembali harus merelakan diri menerima seluruh penderitaan ini.
Kini Lisa mendekap kepala Ratih hingga seluruh wajahnya terbenam di selangkangannya. Ratih tersenggal-senggal menarik napas karena hidungnya turut tersumbat membentur vagina Lisa.
"Auughh.., terr.. uuss.., ahh.. teruskan.., sampai bersih..!" Lisa mendesah-desah.
Padahal Ratih sudah membersihkan semuanya, namun Lisa masih betah menikmati sensasi yang membangkitkan kembali gairahnya itu. Ratih terus mempermainkan lidahnya di liang dan kelentitnya.
Lisa tidak tahan lagi. Tubuhnya menggelinjang makin kencang. Dekapannya pada kepala Ratih kian kencang. Tidak lama kemudian pinggangnya meliuk ke belakang, menandakan betapa dia telah hampir mencapai puncak. Surya pun tidak mau ketinggalan. Tangannya makin bersemangat menyodok-nyodokkan gagang sisir itu, mengimbangi gerakan Lisa yang kian tidak terkendali. Akhirnya.., tubuh Lisa kembali lunglai setelah dia mencapai orgasme untuk yang kedua kalinya ini. Dia kembali merebahkan badan. Surya memandang padanya dengan tersenyum.
"Sudah?"
Lisa membuka mata dan membalas senyuman itu sambil mengangguk lemah.
Surya maju melepaskan rantai leher Ratih dari tambatannya pada kaki ranjang. Dilepaskannya pula jepitan yang masih menempel di kedua daun telinga wanita itu. Ratih sempoyongan dan jatuh terduduk di lantai setelah Surya melepaskan ikatan pada kaki dan pahanya. Namun tangannya tetap dibiarkan terikat seperti tadi, dan rantai kembali di tambatkan pada tempat semula, tapi hanya ujungnya saja, sehingga terdapat cukup ruang antara lehernya dengan kaki ranjang.
"Sekarang terserah kamu, mau meneruskan mengocok-ngocok sendiri anusmu, atau kau lepaskan!" ujar Surya mengijinkan Ratih menentukan pilihannya.
Ratih memandang Surya dengan ragu. Surya mengangguk memberi kepastian, lalu berbalik melangkahkan kaki kembali ke atas ranjang. Ratih berjongkok dan merapatkan kaki berusaha menggapai sisir di pantatnya, dan dengan melalui sedikit perjuangan, dia berhasil melepaskannya. Dicobanya merebahkan badan, telentang. Namun karena terganjal oleh tangan yang terikat di belakang punggungnya, dia harus agak memiringkan tubuh. Diaturnya napas perlahan-lahan sambil melemaskan tubuh mencoba menghilangkan rasa pegal di sekujur tubuhnya.
Surya merebahkan dirinya di samping Lisa. Lisa tersenyum penuh kepuasan. Diciuminya wajah Surya berkali-kali. Surya membalas, hingga akhirnya mulut mereka saling bertemu. Mereka berciuman dengan lembut. Sesaat kemudian mereka telah lelap tertidur dalam nikmat, menyusul Ratih yang telah terlelap lebih dahulu dalam kepenatan dan penderitaannya.
TAMAT
0 comments:
Post a Comment