MENCARI MISTRESS
Malam telah berlalu. Ratih sudah dibebaskan dan melaksanakan aktifitas sehari-harinya mengurus rumah seperti biasa. Bedanya adalah hari ini dia melakukannya sambil bugil, sebab Surya tetap tinggal di rumah. Sabtu memang merupakan hari libur di kantornya.
Surya menyalakan komputernya dan berseluncur di dunia maya. Melalui mesin pencari, dia berhasil menemukan beberapa situs yang sesuai dengan tujuannya. Dia mulai mengenal istilah BDSM. Dengan penuh perhatian diamatinya setiap foto tentang penyiksaan terhadap wanita. Berulang-ulang dia berdecak kagum menikmati wajah-wajah memelas tidak berdaya yang sedang diikat dan disiksa berbagai rupa. Dia merasa begitu bergairah, begitu liar, "haus". Pengembaraannya terus berlangsung hingga suatu ketika dia memasuki sebuah komunitas yang menamakan dirinya "Perbudakan Sex Indonesia".
"Hmm.., ternyata banyak juga penganut BDSM di Indonesia ini." pikirnya penuh takjub membaca pesan-pesan pada messageboard situs yang beralamat di salah satu situs perbudakan tersebut.
"Aha.., ada pemesanan VCD-nya juga, nih!" Surya melonjak kegirangan.
Segera saja dia melihat-lihat screenshot dari masing-masing judul VCD-BDSM yang ditawarkan itu. Dipilihnya beberapa judul yang cocok dan melakukan pemesanan.
"Saya harus memilikinya!" pikirnya.
"Akan banyak teknik yang dapat saya pelajari."
Tidak terasa telah berjam-jam Surya berseluncur dengan asyiknya. Belum pernah setekun ini dia di internet. Dan ketika keasyikannya terganggu oleh kedatangan Ratih yang memberitahukan bahwa makan siang telah siap, dia pun menghadiahinya sebuah tamparan keras diiringi caci-maki.
Seusai makan siang, Surya bergegas kembali meneruskan penjelajahannya. Kali ini dia memanggil Ratih dan menyuruhnya mengamati foto-foto itu. Ratih bergidik ngeri ketika melihatnya. Dia memalingkan mata tidak kuat melihat pemandangan di hadapannya, namun Surya justru kesenangan dan memaksanya untuk terus menatap layar monitor sambil menjanjikan akan segera mempraktekkannya. Bahkan dia disuruh memilih mana yang menurutnya paling menarik untuk acara nanti malam.
Atas desakan itu, Ratih hanya mengangguk setiap kali ditanyakan apakah foto di hadapannya menarik.
"Yang ini..? Oke.., kita simpan! Hmm.., nanti kita coba pilihanmu ini." kata Surya sambil menyimpan semua yang diiyakan Ratih itu di dalam hardisknya.
Matahari mulai menggelincir turun di ufuk Barat. Surya memerintahkan Ratih untuk mandi dan mengatakan ada tugas yang harus dilaksanakannya. Selesai mandi Surya menyuruhnya mendekat, kemudian mencabut tutup spidol berwarna merah dan mulai menggoreskan tulisan di badan Ratih. Melingkar di sekitar puting sebelah kanannya dia menuliskan kata "MILIK", sedangkan di sebelah kanan adalah "SURYA", dan dilanjutkan dengan "LONTE" di bawah payudaranya, sedikit di atas pusar. Surya menjelaskan bahwa itu akan mengingatkannya tentang siapa dirinya ketika sedang bertugas nanti. Selain itu juga akan mengurungkan niatnya untuk coba-coba berbuat serong lagi.
"Siapa tahu?" ujar Surya sinis.
Berikutnya Surya mengambil celana dalamnya dari tumpukan pakaian kotor dan menyerahkannya pada Ratih.
"Pakai punyaku ini, agar kalau kamu mengangkat rokmu pada siapa pun, maka mereka akan melihatnya, dan segera menyadari bahwa kamu sudah ada yang punya!" perintahnya.
Meski merasa aneh, Ratih menurut dan mengenakan celana dalam Surya itu. Untunglah dia diijinkan memakai pakaian luar sepantasnya sebagai pembungkus tubuhnya.
Sekitar pukul 18.00 Ratih meninggalkan rumah melaksanakan tugasnya. Dia mengarahkan kendaraan ke sebuah NightClub sebagaimana yang telah diperintahkan. Misinya adalah mencari seorang wanita penghibur untuk menjadi bintang tamu dalam acara penghukumannya nanti. Begitu terhinanya perasaan Ratih, disuruh mencari dan memilih sendiri seorang pelacur yang akan mendampingi suaminya dalam menyiksa dirinya. Namun dia tidak punya pilihan lain. Dia tidak ingin rekaman bugilnya tersebar di internet, disaksikan oleh masyarakat luas. Bagaimana kalau ada diantara mereka yang mengenalnya? Apalagi kalau sampai keluarganya tahu, dia tidak berani membayangkannya.
Ratih telah memasuki pelataran parkir, namun ragu-ragu untuk turun. Mesin mobil sudah dimatikan, dan dia duduk saja dengan gelisah di dalam mobil. Matanya berkeliaran mencoba menemukan wanita muda yang sedang sendirian di sekitar situ. Agaknya Ratih sedang beruntung. Tidak terlalu lama menanti, dia melihat seorang wanita sedang berjalan sendirian menuju ke pintu masuk. Badannya langsing berisi. T-Shirt tanggung ketat yang dikenakannya menyebabkan tonjolan kedua payudaranya terbayang nyata. Demikian juga dengan pinggulnya, begitu padat mendongakkan rok span yang membungkusnya. Ratih yakin, setiap pria pasti akan tergoda untuk menjamahnya.
"Mas Surya pasti akan senang!" katanya dalam hati sambil bergegas turun dan setengah berlari mengejar wanita itu.
"Eh, maaf! Bisa bicara sebentar?" tanya Ratih segera setelah berhasil menghadang jalannya.
Wanita itu berhenti melangkah dan memandangnya dengan heran.
"Siapa, ya?" tanyanya ragu.
"Hmm.., maaf mengganggu anda. Bisa kita bicara sebentar? Saya, ngg.., saya membutuhkan bantuan anda." bujuk Ratih hati-hati.
"Anda siapa?" tanyanya lagi dengan pandangan curiga.
"Ratih! Hmm.., tidak apa-apa, jangan takut. Saya sendirian." sahut Ratih menenangkan. "Saya sangat mengharapkan pertolongan anda, please?" bujuknya.
Wanita itu mengangkat bahu menunjukkan ketidakmengertiannya.
"Jika anda tidak keberatan, mari kita ke cafe agar dapat berbicara sejenak, oke?" desak Ratih terus. Wanita itu melirik ke arlojinya. "Please..?" bujuk Ratih lagi.
Akhirnya wanita itu mengalah. Mereka masuk ke dalam cafe dan memesan minuman ringan.
Setelah saling memperkenalkan diri dan sedikit berbasa-basi, mereka membisu. Wanita yang menyebut dirinya Lisa itu memandangi Ratih dengan bingung. Tampak benar dia sedang menunggu penjelasan. Dipandangi terus seperti itu menyebabkan Ratih tidak tenang. Dia kehilangan kata-kata untuk menyampaikan maksudnya. Ratih berusaha menutupi kegelisahannya dengan menghirup minumannya berulang-ulang.
"To the point aja, Mbak, apa maksud semua ini?" desak Lisa tidak sabar.
Ratih makin gelisah. Diambilnya napas panjang untuk mendapatkan kekuatan, namun dengan kecewa dihembuskan kembali. Diulanginya lagi, berkali-kali.
"Ada apa sih, Mbak? Kalau enggak ada, ya udah..!" kata Lisa mulai kesal sambil mengambil ancang-ancang hendak berdiri.
"Eh.., ngg.., enggak..!" Ratih gelagapan dan buru-buru menggenggam tangan Lisa untuk mencegahnya beranjak pergi.
Kembali ditariknya napas panjang-panjang menghimpun semua keberanian.
"Jangan pergi dulu, Dik! Ngg.., baiklah.., ngg.." Ratih tampak serba salah.
"Sebelumnya saya minta maaf telah mengganggu Adik." Lisa memang tampak lebih muda darinya.
"Sekali lagi maaf kalau kurang sopan, tapi sungguh saya sangat perlu mengetahuinya, ngg.., apakah Adik, Adik sudah menikah?" lanjut Ratih.
Lisa terperanjat dan menyentakkan tangannya dari genggaman Ratih, kemudian memandang dengan tajam. Suasana hening. Ratih tidak kuat melawan tatapan itu dan lalu menundukkan kepalanya sambil kembali meminta maaf.
"Untuk apa Mbak menanyakannya?" tanyanya menyelidik.
Ratih merasa serba salah dan terdiam. Tapi ketakutan akan resiko bila gagal memaksanya untuk berusaha.
"Ngg.., ya.., maaf, Dik! Mmm.., ini perlu sekali..!"
"Tapi untuk apa..?"
Kembali Ratih mereguk jus alpukat di hadapannya.
"Ngg.., ini.., ini berkaitan dengan.. bantuan yang saya harapkan dari Adik. Saya sangat membutuhkan bantuan Adik.."
"Apa hubungannya dengan pernikahan saya..?" potong Lisa semakin penasaran.
"Ngg.., karena.., karena pasti Dik Lisa tidak akan mau membantu saya.., kalau Adik belum pernah.."
"Apa sih maksud Mbak..?" suara Lisa mulai meninggi.
"Aduh.., maaf Dik! Maaf..! Saya bukan bermaksud menghina Adik. Hanya saja saya butuh bantuan Adik untuk.., untuk.., untuk.." Ratih tidak berani melanjutkan kata-katanya.
"Untuk apaa..?" desak Lisa semakin tidak sabar.
"Untuk.., ngg.., maaf Dik! Untuk.. suami saya..!" jawab Ratih lirih seraya menundukkan wajahnya dengan cemas.
"Apa..?" jerit Lisa tidak percaya sambil menegakkan badannya setengah berdiri.
Wajahnya tampak memerah. Menyadari teriakannya tadi menarik perhatian pengunjung lainnya, dia kembali duduk.
"Iya, Dik..! Sekali lagi maaf, kalau kata-kata saya menyinggung Adik."
Suasana kembali hening. Ratih mendengar dengan jelas detak jantungnya yang berdegup kencang. Kedua tangannya dikatupkan di atas meja, dan bergerak-gerak tidak menentu. Dia begitu gelisah menunggu jawaban Lisa. Sesekali diangkatnya wajah memandangi Lisa secara sembunyi-sembunyi. Lisa mengawasi setiap gerakan Ratih dengan cermat. Setelah mempertimbangkan beberapa saat, dia sadar bahwa wanita itu benar-benar sangat mengharapkan jawabannya.
Akhirnya Lisa menghela napas dan menjawab, "Iya, saya sudah pernah menikah."
Ratih mengangkat wajahnya sambil menahan napas menantikan kelanjutannya.
"Tapi sekarang sendiri lagi.., biasa, tidak cocok!" lanjut Lisa sambil tersenyum acuh.
"Ah..!" sahut Ratih lega.
"Mengapa, Mbak?"
"Begini.., saya lega karena sepertinya Adik orang yang tepat.., untuk.. menolong saya."
Lisa memandangi Ratih dengan tajam, menuntut penjelasan.
"Sebelumnya maaf, kalau kata-kata saya akan membuat Adik tersinggung." lanjut Ratih.
Lisa tidak berkomentar, tapi sorot matanya kian tajam. Ratih kembali melanjutkan, "Apakah.., mm.. Adik, ngg.., apakah Adik bersedia ngg.., ikut dengan saya!"
"Kemana? Untuk apa?" tanyanya setelah berpikir sejenak.
Pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Ratih.
"Ke rumah saya."
"Mengapa?"
Ratih kembali kehilangan keberanian untuk mengungkapkannya. Namun mengingat betapa akan murkanya Surya jika dia gagal melaksanakan kewajibannya, maka dia berusaha mengumpulkan keberaniannya.
Setelah menarik napas panjang beberapa kali, akhirnya dia menyampaikan tujuan utamanya.
"Begini, Dik..!" ucap Ratih setelah menarik napas dalam-dalam. "Saya ingin meminta pertolongan Adik, mm.., untuk menemani suami saya."
Lisa terheran-heran. "Menemani bagaimana?" tanyanya penasaran.
"Menemani.., yah.." Ratih mengangkat kedua bahunya. Dia bingung bagaimana cara menjelaskannya.
Akhirnya setelah berpikir keras, akhirnya dia melanjutkan, "Saya telah berbuat kesalahan besar. Mas Surya tidak sudi lagi melakukannya denganku. Dia akan menceraikan saya jika tidak dapat mencarikan wanita lain untuk.., untuk melayaninya, menggantikanku."
Lisa tercengang mendengar penuturan itu. Dia tidak percaya pada pendengarannya.
"Apa saya tidak salah dengar? Mbak meminta saya untuk melayani suami Mbak? Ah, yang benar saja, Mbaak..?"
"Benar, Dik! Saya sangat mengaharapkan kesediaan Dik Lisa."
"Hmm.." Lisa merenung sejenak. "Serius..? Apa benar Mbak rela suami Mbak melakukannya dengan wanita lain..?"
Ratih mengangguk dalam. "Apa boleh buat, Dik! Saya yang salah, ini hukuman bagi saya." ujar Ratih lirih.
Napasnya terdengar sangat berat. "Saya rela, ikhlas! Bahkan saya akan sangat berterima kasih jika Dik Lisa bersedia menolong saya." lanjutnya sambil menatap Lisa dengan wajah memelas, penuh pengharapan. Digenggamnya tangan Lisa untuk menegaskan keseriusan ucapannya ini.
Lisa memandang dengan tajam. Pandangannya seakan-akan menembus hingga ke dalam jiwa Ratih, mencari kepastian akan kebenaran pernyataan wanita di hadapannya. Suasana begitu hening.
"Yah.., sebagaimana yang tentunya sudah Mbak duga, memang saya biasa melakukannya. Tapi belum pernah dengan sepengetahuan, apalagi diminta oleh istrinya seperti Mbak ini." kata Lisa memecah keheningan.
"Hmm.., lalu, kalau saya bersedia, apa untungnya bagi saya?"
"Yah.., setidaknya saya tidak perlu melakukannya secara sembunyi-sembunyi." sahut Lisa sambil mengangkat bahu.
Secercah senyum mulai menghias wajah Ratih.
"Terima kasih, Dik!" genggaman Ratih semakin keras.
"Mmm.., saya sangat berterima kasih atas kesediaan Dik Lisa. Untuk itu.., mm, tentu saja saya akan memberikan imbalan yang pantas."
Mereka mulai membicarakan imbalan yang dianggap pantas untuk jasa yang akan diberikan Lisa. Semula Ratih menawarkan lima ratus ribu rupiah. Namun pada akhirnya mereka mencapai kesepakatan pada harga Rp 1.000.000,-. Sebagai jaminan atas keselamatan dirinya, Lisa meminta Ratih untuk menyerahkan KTP-nya, yang akan dikembalikan setelah acara selesai beserta pembayarannya. KTP itu lalu dimasukkan ke dalam sebuah amplop putih, dilem, dan lalu ditandangani oleh Ratih pada bagian persambungan lipatan penutupnya. Selanjutnya Lisa menitipkannya pada Alex, temannya yang kebetulan menjadi bartender di NightClub situ.
Mereka sepakat, bahwa jika hingga Minggu malam Lisa tidak datang mengambil amplop itu bersama Ratih, maka Alex harus segera melaporkan hilangnya Lisa kepada polisi sambil membawa amplop berisi KTP tersebut. Alex tidak boleh membukanya hingga Senin. Jika Ratih menemukan bahwa amplop itu sudah rusak karena pernah dibuka, maka pembayaran batal. Ini adalah syarat yang diminta Ratih agar privacynya juga terjaga. Ketika pada akhirnya mereka berangkat meninggalkan tempat tersebut, waktu sudah menunjukkan pukul 20.15.
Di tengah jalan Ratih menghentikan sejenak kendaraannya.
"Maaf Dik, saya harus menutup mata Adik. Maaf, suami saya ingin memastikan bahwa nanti setelah selesai, tidak akan ada masalah di kemudian hari." katanya sambil mengeluarkan saputangan.
Lisa dapat memaklumi permintaan tersebut. Mereka kembali melanjutkan perjalanan setelah Ratih membalutkan saputangannya menutupi mata Lisa.
Bersambung . . . ..
0 comments:
Post a Comment