Terlahir sebagai seorang pria yang dikaruniai kesempurnaan fisik memang merupakan sesuatu yang sangat diidamkan oleh semua orang, tidak perduli apakah dia orang kaya yang hidup di sebuah rumah bertingkat lima layaknya istana maupun orang-orang yang harus puas tidur beralas kardus di bawah kolong jembatan, semua orang ingin tampan! Bahkan kalau perlu, orang akan berani membayar berapa saja untuk memperbaiki penampilan fisiknya, yang berakibat bisnis salon pun makin laris dan menjanjikan prospek yang sangat menjanjikan karena tidak akan ada sepinya.
Barangkali kalau boleh sedikit jujur tanpa bermaksud menyombongkan diri, aku termasuk salah satu pria yang beruntung itu. Kebanyakan orang mengatakan kalau aku ini ganteng dan menarik (Karena, tentu saja tidak semua orang ganteng itu menarik!). Dengan hidung mancung, bibir yang sensual, sepasang mata yang menawan mirip Justin Timberlake, dan rambut hitam mengkilat membuat para gadis yang berpapasan denganku di mal, di jalan, bahkan sampai yang di pasar pun tak akan bisa tidur berminggu-minggu karena saking terpesonanya dengan diriku. Belum lagi mereka melihat tubuhku yang atletis dengan dada yang bidang dan perut yang boleh dibilang seksi.
Tapi aku tegaskan, itu kata orang! Aku sendiri tak pernah merasa diriku ini tampan atau pun ganteng. Kalau menarik, memang iya! sebab aku selalu berusaha untuk menjadi seseorang yang menarik. Entahlah, yang jelas aku tak mau merasa sok ganteng agar tidak membuat diriku yang terlahir sebagai anak yang rendah hati ini berubah menjadi sombong di kemudian hari. Kalau dibilang fisikku sempurna, aku malah tidak merasa demikian. Jujur saja, aku selalu merasa kurang puas dengan penampilanku. Kurasa, itu adalah penyakit kebanyakan orang juga, tidak pernah puas dengan penampilannya!
Sejak kecil, aku sudah punya sebuah cita-cita, aku ingin menjadi bintang film. Tapi bukan karena aku hendak mengkomersilkan tampang gantengku semata, melainkan lebih dikarenakan dalam darahku memang mengalir darah seniman. Sejak SD kelas lima, aku begitu menggebu-gebu untuk bisa menggeluti dunia akting, aku ingin masuk sanggar. Namun sayangnya, keinginanku bertepuk sebelah tangan, ibuku tak mengijinkan dengan sebuah alasan kuat, tidak adanya biaya! Kami memang bukan keluarga yang kaya, kami hidup pas-pasan dengan uang pensiunan ayahku dan sedikit tambahan dari hasil kerja sambilan ibuku. Yah, dengan berat hati, aku pun tak bisa membantah ibuku lagi. Aku pun sempat putus asa sampai kemudian memutuskan untuk mengubur dalam-dalam obsesiku yang terlalu tinggi itu.
Tapi tetap saja aku tak bisa melupakannya begitu saja! Aku sudah terlanjur cinta! Sewaktu menginjak bangku SMP, barulah sebagian kecil keinginanku terpenuhi, aku bisa mengikuti seni teater yang menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Disanalah, bakatku di tempa untuk pertama kalinya bahkan aku pernah menjabat sebagai ketua team teater selama satu periode.
Selepas SMP dan masuk ke SMU, aku tak lagi aktif di teater karena kesibukanku bekerja sambilan sebagai guru les untuk anak SD. Pekerjaan itu harus kulakukan, karena aku harus membiayai sendiri pendidikanku di salah satu sekolah swasta yang cukup mahal, setidaknya termasuk mahal untuk ukuran keluarga kami. Ibuku sudah tak sanggup lagi untuk membiayainya, karena keuangan kami terbentur dengan banyaknya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.
Sampai suatu ketika, aku mendapat seorang murid yang notabene adalah anak seorang pengusaha kayu yang sangat kaya. Rumahnya besar dengan garase yang juga tak kalah besarnya yang dipakai untuk menaruh sebuah mobil Jaguar, tiga mobil Baby Benz serta sebuah mobil Audy di dalamnya. Nama pengusaha itu sebut saja Pak James, usianya masih muda, sekitar tiga puluh lima tahunan.
Lambat laun, aku mulai kenal dekat dengan keluarga itu, meski tidak dengan ibunya tapi paling tidak dengan Pak James. Awalnya, secara tak sengaja pada suatu sore aku berkesempatan bertemu dengan Pak James sehabis aku mengajar anaknya. Memang tidak biasa, Pak James pulang lebih awal dari kantornya. Biasanya, aku tak pernah bertemu dengannya karena jam mengajarku yang agak siang di rumah itu. Aku hanya sering melihat wajah Pak James dari foto yang terpampang di ruang tengah, dan tampangnya memang benar-benar setampan yang ada di foto, mukanya putih mulus dan matanya agak sipit.
"Dy, kamu buru-buru nggak?" tanya Pak James sambil mengambil tempat duduk tepat di depanku selesai dia menyalamiku. Saat itu aku sedang duduk di sofa ruang tengah.
"Tidak om!" sahutku dengan agak gugup.
"Om punya tawaran bagus untuk kamu, barangkali saja kamu berminat!"
Om James mengeluarkan sebuah map dari dalam kopernya. Aku benar-benar tak mengerti apa maksud om James, tapi aku tak berani bertanya macam-macam, menunggu sampai ia yang menjelaskannya sendiri.
"Begini, teman om yang bekerja di model agency sedang mencari model untuk iklan pembersih muka. Maunya om tawarin sama keponakan om yang di Kemang, tapi begitu om lihat Dik Andy, Om langsung berubah pikiran. Om rasa Dik Andy cocok untuk tawaran ini, gimana?"
Aku terdiam untuk beberapa saat lamanya sambil menatap selembar formulir yang ada di tanganku saat itu. Aku bingung, karena aku benar-benar tidak yakin akan lolos seleksi nantinya. Tetapi setelah didesak terus oleh om James, akhirnya aku pun mengiyakan saja.
Aku tak tahu kalau keputusanku saat itu ternyata keputusan yang ceroboh karena belakangan baru ku ketahui bahwa untuk mengisi tawaran itu, tidak sedikit uang yang harus dikeluarkan. Singkat cerita, begitu kuperoleh informasi tentang segala pengeluaran yang mesti kusiapkan ketika aku menemui pihak model agency tersebut, aku pun segera menemui Om James di kantornya untuk menyampaikan permohonan maafku karena hendak mengundurkan diri dari tawaran itu.
Namun Om James malah tambah memberikan dukungan kepadaku, malah kali ini tak hanya berupa moril tetapi juga ia berjanji untuk memberikan dukungan dana. Tetapi ia memberikan satu syarat, yaitu aku harus bersedia menjadi "Istri" simpanannya. Aku tambah kelabakan saat Om James mengajukan syarat yang terdengar gila itu, aku tak tahu bagaimana harus menolak karena saat itu aku memang tak ingin menolak. Apalagi melihat figur Om James yang kebapakan itu yang membuatku makin menyukainya, sebab sejak kecil aku sudah tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang bapak.
Om James berjanji untuk mencukupi semua keperluanku, mulai dari pakaian, uang saku bulanan, serta sebuah mobil pribadi. Untuk kami berdua, om James juga menyewa sebuah apartemen mewah di tengah kota. Di tempat itulah kami menikmati kebersamaan dan menghabiskan waktu-waktu kami merengkuh kenikmatan bersama.
Suatu sore, Kami berkesempatan untuk jalan-jalan ke mal dan makan di salah satu restoran Jepang. Saat-saat bersama om James selalu merupakan saat-saat yang paling menyenangkan dalam hidupku, apalagi om James tipe pria yang romantis dan tidak kaku. Ia suka mengajakku bercanda dengan humor-humor segarnya yang bisa mencairkan kejenuhanku saat itu.
"Dy, malam ini om akan nginap di apartemen!" katanya tiba-tiba yang membuat aku tersentak kaget bercampur bahagia, sebab selama ini om James tidak pernah sekali pun menginap di apartemen. Apartemen itu jarang sekali ditempati, sebab aku masih tinggal bersama ibuku. Hanya sesekali saja, aku menginap di sana kalau sedang ingin tidur di atas spring bed di dalam kamar ber-AC.
Aku langsung tersenyum gembira mendengar ucapan om James barusan. Om James lalu memegang dan meremas pelan tanganku di atas meja. Itu hanya sebuah bahasa isyarat, sebuah rahasia di antara kami!
*****
Setelah pintu kamar dikunci dari dalam, Om James langsung merangkulku menuju sofa besar di depan TV. Ia menelentangkan tubuhku di atas sofa dengan perlahan, ditatapnya dengan tajam seluruh lekuk-lekuk tubuhku dari ujung rambut sampai ke telapak kaki seolah-olah dia hendak menelanku hidup-hidup saat itu, atau mungkin saja dia kebingungan harus memulainya dari bagian yang mana. Tapi kemudian, Om James berhenti menatapku, ia lantas memilih untuk berjongkok di samping wajahku dan langsung mendaratkan ciuman bibirnya ke bibirku, makin lama makin ganas. Yah, Om James melumat bibirku dengan sangat liar karena terbakar nafsu! Om James memutar-mutar bibirnya yang menempel di bibirku seiring dengan permainan lidahnya yang sungguh buas. Aku hanya memejamkan mata sambil terus berusaha mengimbangi permainannya.
Perlahan-lahan, tubuh om James mulai naik ke atas sofa, ku rasakan ia sudah menindihku saat itu. Tangannya pun mulai bergerak-gerak nakal sambil menggerayangi tubuhku, khususnya meremas-remas batang kejantananku dari balik celana jeans yang kupakai saat itu. Kontan saja, penisku pun makin tegak dalam sangkarnya sampai terasa tak muat lagi di dalam celana dalam ketatku.
Tak cukup puas dengan meremasnya dari luar, Om James pun mulai melepaskan sabukku dan kemudian membuka restleting celanaku. Begitu terbuka, ia pun langsung memelorotkannya dan kemudian melemparkannya ke atas karpet. Aku pun ikut-ikutan memelorotkan celana Om James dan menanggalkan kemejanya sampai pria itu setengah telanjang dengan hanya mengenakan CD dan singlet. Kemudian kami saling memagut bibir lagi. Kali ini bahkan tak hanya bibir, Om James mengerayangi leher dan dadaku dengan lidahnya sambil tangannya terus-menerus "Memompa" kemaluanku di bawah sana dengan meremas-remasnya sambil sesekali disusupkan masuk ke dalam CD-ku dan memegangnya langsung.
Aku pun tak kalah liar, aku mendekap erat bagian kepala belakangnya sambil meremas-remas rambutnya yang tebal. Kemudian, perlahan kudorong kepalanya untuk bergerak makin turun di bagian tubuhku, dari dada, turun ke perut dan sampai Om James bermain-main di seputar pusarku dan terus turun ke bawah di daerah hutan lebatku. Aku mendesah-desah untuk memancing gairah Om James agar tak sampai surut, di samping aku memang merasa kegelian saat itu.
Sampailah di area terlarang, pusat kendali rudal Amrik-ku. Om James pun tak tahan ingin segera menghisap si penny, dengan penuh nafsu, ia memelorotkan CD loreng yang kupakai. Dan tanpa babibu lagi, dimasukkannya ujung "Penny"-ku ke dalam mulutnya, dan kemudian menenggelamkannya dalam kuluman birahinya. Ia menikmatinya sambil mengedap-ngedipkan matanya, mungkin saja ia merasakan sesuatu yang lebih nikmat dari sepotong black forest saat itu. Aku tak mempedulikannya, karena aku pun sedang berada dalam puncak kenikmatanku sendiri saat itu. Meski ini sudah untuk yang kesekian kalinya "Penny"-ku dihisap oleh Om James, namun setiap kali melakukannya, selalu ada kenikmatan yang baru yang kurasakan. Entahlah, aku tak pernah bosan dengan permainan om James, malah kalau boleh dikata, aku ketagihan!
"Ach, teruskan om!" pintaku pada sang bos kayu itu.
Om James tambah liar saja memainkan si penny, dihisapnya keluar masuk mulutnya beberapa kali, kemudian digenggam dan disedotnya seperti ketika menikmati sebatang es krim, serta dikulumnya sampai ke buah zakarnya.
Selang beberapa lama, om James menikmati si penny, maka si penny pun sudah tak sabar lagi untuk segera menumpahkan cairan kelelakiannya. Sejak tadi memang sudah keluar cairan precum yang sudah dinikmati terlebih dahulu oleh Om James. Namun kali ini adalah puncaknya, tiga semprotan sekali muncrat yang langsung dijilat tak bersisa oleh Om James. Ia bahkan menghisap sampai ludes sisa-sisa sperma yang masih menempel di ujung si penny dan ia menikmatinya, tentu saja ia tak canggung karena yang memuntahkannya seorang cowok ganteng dan berpenampilan bersih sepertiku. Aku sendiri pun, tak pernah merasakan gimana rasanya spermaku, mungkin saja seenak yang dikatakan om James selama ini. Tapi kalau soal sperma om James, jujur saja agak asin dan bau! Tapi anehnya, aku kok bisa suka yah?!? Jaman memang betul-betul sudah gila.
Setelah aku kecapaian, lagi-lagi om James masih tak mau berhenti, ia masih punya tenaga ekstra yang cukup untuk main sepuluh ronde. Kadangkala, aku malah berpikir kalau om James sebenarnya tidak cocok menjadi direktur perusahaan kayu, ia sebetulnya lebih pantas jadi superman, batman atau pahlawan bertopeng saja.
"Om James mo entot kamu yah? Mau nggak?" tanya Om James kemudian. Ia takut aku kesakitan seperti sebelumnya. Aku tak menyahut, hanya menganggukkan kepala sekali.
Om James pun membalikkan posisi badanku. Ia telentang di atas sofa sambil setengah posisi berbaring. Kemudian ia menyuruhku menindih kontolnya yang menegang saat itu dan sudah dibungkus kondom, tentu saja dengan perlahan-lahan dan berhati-hati sekali untuk memasukkan kontolnya tepat di lubang anusku. Kalau aku ceroboh sedikit saja, pasti fatal akibatnya, bisa-bisa penny om James langsung patah nantinya, dan kalau sudah begitu, dimana harus dicari sparepart-nya?
Setelah ujung penny Om James mulai kurasakan masuk ke liang anusku, maka perlahan aku pun makin menenggelamkannya sampai sepanjang penny itu masuk ke lubang anusku. Om James pun mulai mendesah-desah sambil menggigit-gigit bibir bawahnya. Sementara itu, aku bukan hanya mendesah, melainkan mengerang menahan rasa nyeri di lubang anusku saat itu. Apalagi ketika aku kemudian disuruh memompa badanku naik turun seiring dengan keluar masuknya penny Om James di lubang anusku, sungguh tak terkatakan sakitnya! Namun lama kelamaan, rasa sakit itu pun berangsur-angsur hilang, berganti dengan kenikmatan yang juga tak terkatakan.
Om James pun terus menggoyangkan tubuhnya dari bawah, kami berdua benar-benar menikmatinya saat itu. Kemudian tak berapa lama, kurasakan sesuatu yang hangat di lubang anusku, seiring dengan makin melemasnya penny Om James. Kami berdua merasa capai sekali setelah pertempuran dahsyat itu, aku pun kemudian merebahkan diri di samping om James di atas sofa itu, kami saling merapatkan badan di sofa yang sempit itu sambil kurasakan dekapan hangat om James di sampingku. Dia masih menciumi dan mengecup leher belakangku, sambil kakinya dilingkarkannya ke pinggangku seperti mendekap guling. Tangannya pun dilingkarkannya di perutku dengan erat seolah sedang menemani istrinya tidur.
Begitulah sebagian dari awal perjalanan hidupku sebagai seorang model, kalau kini aku sudah banyak dikenal orang dan sudah bisa membeli rumah dan mobil pribadi, aku tetap tak akan melupakan om James dan segala jasanya untuk perkembangan karierku. Aku tak tahu, mungkin saja kini ia sudah melupakanku, sebenarnya aku masih ingin untuk melewatkan waktuku bersamanya lagi, jika ia memang masih berkenan menemuiku. Aku minta maaf untuk kekhilafanku waktu itu dan aku juga ingin berterima kasih yang sebanyak-banyaknya untuk anda, Om James.
*****
Kisah ini kupersembahkan secara khusus untuk penpal-ku DK di Jakarta, thanks for your pic and your inspirations, dan yang terpenting kepercayaanmu! Semoga kariermu lancar dan tetap menjadi yang terbaik. Dan untuk pembaca sekalian, semoga kalian suka dengan ceritanya! Silahkan kirim email dan komentar kalian ke alamat email di bawah, jangan lupa lengkapi dengan identitas pribadi.
Tamat
Home »
Sesama Pria
» Obsesi sang model
Obsesi sang model
Posted by Unknown
Posted on 5:43 PM
with No comments
0 comments:
Post a Comment