Sewaktu saya masih sering ke Gajah Mada Plaza, saya pernah 'dijemput' Om homo yang mengaku namanya Irfan. Tapi tidak jadi sebab papaku sudah keburu datang menjemput. Anyway, cerita di bawah hanyalah KHAYALAN akan apa yang terjadi jika saya jadi ikut ama Om Irfan itu.
*****
Saya sedang terburu-buru mondar-mandir antara lobby Gajah Mada Plaza dan telepon umum di lantai 1. Rasanya kesal sekali, kenapa papaku belum datang jemput. Jam sudah menunjukkan hampir jam 9 malam. Tiba-tiba seorang Om melemparkan senyumnya padaku. Saya tentu saja heran, karena saya tidak pernah mengenalnya. Penasaran, saya berbalik dan menghampirinya. Om itu sudah berdiri di sana, yakin bahwa saya akan berpaling kepadanya.
"Kamu Rudy, 'kan?" tanyanya, sok kenal.
Basi sekali, pikirku. Namun, saya menjawab dengan ramah, "Bukan. Saya bukan Rudy. Om salah kenal orang."
Tapi Om itu berhasil mengorek informasi dariku, dan saya pun memberitahukannya nama asliku. Tapi saya juga belakangan mengetahui nama aslinya. Katanya sih namanya Irfan.
"Kita pergi ke tempat lain, yuk," ajaknya, tersenyum ramah.
Saya langsung mengikutinya. Jujur saja, jantungku berdebar-debar. Saya tahu bahwa Om itu pasti homo. Om itu memang tidak ganteng, badannya pun biasa-biasa saja. Umurnya sudah kepala empat dan kulitnya agak gelap. Namun, kehomoannya sangat merangsangku, sebab saya belum pernah bertemu dengan seorang homoseksual lain. Saya sendiri memang homo sejak puber. Sadar bahwa Irfan bisa saja memperkosaku malah membuatku semakin terangsang. Om itu memang pribumi sedangkan saya Chinese. Tapi perbedaan itu tidak akan menghalangi jika kami berdua memang ingin berhomoseks.
Om itu membimbingku ke area parkir terbuka, dan ke mobil sedannya. Mobilnya memang tidak terlalu mewah dan kelihatan tidak baru, tapi sebuah mobil tetaplah sebuah mobil. Di dalam mobil itu, Om Irfan meremas-remas kontolku seraya berkata,
"Kamu ngaceng?"
"Iya nih, Om," sahutku malu-malu.
Jantungku masih berdebar dan tanganku dingin karena gugup. Mukamu memerah karena ketahuan ngaceng. Tapi Om Irfan tidak kelihatan keberatan, malah terlihat senang.
"Sama donk. Oh ya, panggil saya Irfan aja, ok?" jawabnya.
Saya mengangguk. Kemudian tanganku digenggam olehnya dan lalu dipindahkan ke celananya. Oh, Om itu juga ngaceng. Malu-malu tapi mau, kuremas-remas kontolnya. Mula-mula pelan, tapi lama-kelamaan kuremas agak lebih keras. Irfan hanya mampu mengerang-ngerang keenakkan, tanda bahwa dia menyukainya.
"Hhoohh.. Oohh.. Hhoosshh.." Genggaman tangannya pada kontolku juga makin mengeras dan dia berusaha untuk mengocok-ngocok kontolku dari balik celanaku.
Noda basah mulai muncul pada tonjolan celanaku. Saya benar-benar terangsang. Meskipun Irfan bukan tipe priaku tapi saya bersedia dingentot olehnya jika dia mau. Tak lagi malu, kuerangkan kenikmatanku.
"Oohh.. Aahh.." Irfan malah meremas kontolku lebih keras.
"Aarrgghh.. Irfan.. Enak.."
Om itu hanya tersenyum mesum saja. Kemudian, mobilnya dijalankan dan kami pun melaju di tengah keramaian lalu lintas malam. Di tengah perjalanan, kami masih saling meraba dan meremas kontol sehingga noda-noda precum di celana kami semakin melebar. Singkat kata, saya dibawa ke rumahnya. Rumah Irfan biasa-biasa saja, tak mewah sama sekali. Dengan santai, dia mengajakku masuk sambil berkata bahwa istri serta anak-anaknya sedang keluar kota dan baru pulang besok malam. Irfan membimbingku masuk ke kamarnya. Astaga, dia ingin berhomoan denganku di ranjang yang dia bagi dengan istrinya!
"Ah, kamu menggairahkan sekali," bisiknya, sambil menciumi leherku.
"Irfan, saya terangsang."
Kontolku ngaceng berat sejak di perjalanan, dan kini sudah membasahi celana panjangku. Kutunjukkan padanya noda precum itu dan dia hanya tertawa mesum. Irfan langsung memelukku dan meraba-raba tubuhku. Saya terlena dalam buaiannya.
"Aahh.. Oohh.. Aahh.." desahku.
Semakin saya mendesah, semakin berani Irfan menikmati tubuhku. Kedua tangannya mulai masuk ke dalam kaosku dan menyentuh-nyentuh bagian pribadi tubuhku. Saya semakin terlena dan membiarkan Om itu menikmati tubuhku. Saya merasa seakan-akan diperkosa oleh ayahku sendiri saja, sebab umur Irfan mungkin hampir sama dengan umur ayahku.
"Aahh.. Om.. Bugil yuk.. Aahh.."
Karena sudah bernafsu, saya ingin sekali melihat dia bugil. Om itu makin senang melihatku mabuk dengan nafsu birahi karena dia sendiri sudah tak tahan lagi ingin menyetubuhiku.
Dengan sensual, Irfan melepas kemejanya, berikut celana panjangnya. Badannya sangat merangsang nafsuku. Memang, Irfan tidak seperti seorang atlet; tubuhnya agak berlemak tapi tidak gemuk. Celana dalam putihnya nampak sesak dengan kontol ngacengnya. Tonjolan erotis itu nampak sangat menggiurkan. Langsung saja, kuremas-remas dadanya itu dan Irfan pun melenguh-lenguh seperti kerbau.
"Aahh.. Oohh.. Remas dadaku.. Aahh.. Pelintir saja putingku.. Aahh yyaa.. Oohh.." Irfan makin gila dengan nafsu setiap kali saya mengerjai putingnya. Nampaknya dia tertarik dengan stimulasi puting.
"Aahh.. Oohh.. Aahh.." Irfan mulai menggeliat-geliat.
Sementara saya sibuk menjilat-jilat dan menggigit-gitit putingnya, tanganku bergerak turun dan membelai-belai tonjolan celana dalamnya. Kutemukan batang kontolnya dan kuremas-remas. Cairan precumnya tembus lewat celana dalamnya dan membasahi tanganku. Ah, seksi sekali. Irfan mengerang makin keras saat kuremas kontolnya.
"Oohh.. Kamu juga bugil donk, sayang.."
Saya pasrah saja sat Irfan melolosi kaos dan celana panjangku, meninggalkanku berdiri di sana hanya dengan celana dalamku. Wajahku kembali memerah karena celana dalam yang kupakai saat itu adalah celana dalam usang. Banyak bekas noda-noda kekuningan menghiasai bagian depan celana dalamku, pertanda bahwa saya sering membasahinya dengan precum dan pejuh. Namun, Irfan sama sekali tak kebertaan. Sebaliknya, dia senang sekali mengetahui bahwa saya suka sekali dengan seks.
"Kamu pernah ngentot sebelumnya?" tanyanya melingkarkan tangannya di sekeliling pinggangku.
"Belum pernah. Tapi saya sering coli sambil lihat foto-foto panas atau baca cerita-cerita di 17Tahun," jawabku, memeluknya balik. Untuk pertama kalinya, saya bisa merasakan hangatnya tubuh seorang pria. Kehangatan itu terasa menenangkan dan sekaligus membuatku terangsang berat.
"Kamu mau dimasukin?" tanyanya seraya menciumi pipiku. Tangannya meremas-remas pantatku dengan keras.
Saya mengangguk-ngangguk. Kesempatan itu memang sudah kutunggu-tunggu. Saya bosan berfantasi, saya mau mengalaminya. Tawaran Irfan langsung kuterima.
"Ya, Irfan. Saya mau dimasukin. Saya mau dingentot. Please do fuck me."
Kuciumi dadanya untuk menekankan jawabanku. Irfan hanya tersenyum mesum dan kemudian memelukku lebih kencang. Bagaikan sepasang kekasih, kami memadu kasih dengan pelukan-pelukan mesra dan ciuman-ciuman erotis. Kubiarkan Irfan membimbingku masuk ke dalam dunia homoseksual. Kuperhatikan cara-cara Irfan menciumku dan kucoba untuk menirunya. Ciuman kami tak hanya melibatkan bibir saja, tapi juga lidah dan air liur. Kami benar-benar menyatu. Lidah kami saling bergulat dan air liur kami saling bertukar. Kurasakan dua tonjolan kecil menusuk kulit dadaku. Oh, rupanya kedua puting Irfan sudah tegang. Ah, seksi sekali.
Ketika pelukan kami terlepas, saya melepaskan sisi liarku. Kubiarkan nafsu birahiku mengontrolku. Seperti maniak seks, kuremas-remas tubuhnya yang seksi itu. Irfan hanya berdiri saja, membiarkanku melakukan apa yang kumau. Bibirku menjelajahi leher dan turun ke dadanya. Kemudian, kujilat-jilat dadanya sehingga dada Irfan berkilat-kilat karena basah. Khusus untuk kedua putingnya, kujilati dengan kuat agar tekanan lidahku lebih terasa. Lalu, kuputar-putar lidahku agar Irfan merasa putingnya seperti sedang dibelai-belai. Puas menjilat, kusedot-sedot putingnya seperti bayi yang sednag menyusu pada ibunya. Kusedot sekuat mungkin, sesekali kugigiti dengan pelan. Irfan nampak sangat menyukainya dan saya dihadiahi suara-suara erotis dari erangan-erangannya.
"Aarrgghh.. Hhoohh.. Hhoohh.. Aahh.." Mendengarnya, saya menjadi semakin bersemangat untuk menyenangkan Irfan.
Tapi lama-kelamaan, saya bosan dan ingin menjelajahi lagi. Maka kusapukan lidahku menuruni perutnya yang agak besar itu dan turun ke celana dalamnya. Saya berjongkok dan kini wajahku berhadapan langsung dengan tonjolan celana dalamnya. Aroma kontol begitu menusuk tajam. Aahh.. Saya masih agak gugup tapi saya mau melakukannya.
Pelan-pelan, kuturunkan celana dalam itu. Dan saya langsung disambut kontolnya yang tegang bak batang besi. Kontol terindah yang pernah kulihat. Panjang batangnya sekitar 15 cm. Kepala kontol Irfan bersunat dan jahitannya sempurna sekali, memberi kesan seolah-olah Irfan memang terlahir tanpa kulup. Noda-noda precum melumuri kepala kontolnya dan memberi efek mengkilap. Kudekatkan bibirku. Oh, akhirnya sebatang kontol begitu dekat denganku..
Bersambung . . . . . .
*****
Saya sedang terburu-buru mondar-mandir antara lobby Gajah Mada Plaza dan telepon umum di lantai 1. Rasanya kesal sekali, kenapa papaku belum datang jemput. Jam sudah menunjukkan hampir jam 9 malam. Tiba-tiba seorang Om melemparkan senyumnya padaku. Saya tentu saja heran, karena saya tidak pernah mengenalnya. Penasaran, saya berbalik dan menghampirinya. Om itu sudah berdiri di sana, yakin bahwa saya akan berpaling kepadanya.
"Kamu Rudy, 'kan?" tanyanya, sok kenal.
Basi sekali, pikirku. Namun, saya menjawab dengan ramah, "Bukan. Saya bukan Rudy. Om salah kenal orang."
Tapi Om itu berhasil mengorek informasi dariku, dan saya pun memberitahukannya nama asliku. Tapi saya juga belakangan mengetahui nama aslinya. Katanya sih namanya Irfan.
"Kita pergi ke tempat lain, yuk," ajaknya, tersenyum ramah.
Saya langsung mengikutinya. Jujur saja, jantungku berdebar-debar. Saya tahu bahwa Om itu pasti homo. Om itu memang tidak ganteng, badannya pun biasa-biasa saja. Umurnya sudah kepala empat dan kulitnya agak gelap. Namun, kehomoannya sangat merangsangku, sebab saya belum pernah bertemu dengan seorang homoseksual lain. Saya sendiri memang homo sejak puber. Sadar bahwa Irfan bisa saja memperkosaku malah membuatku semakin terangsang. Om itu memang pribumi sedangkan saya Chinese. Tapi perbedaan itu tidak akan menghalangi jika kami berdua memang ingin berhomoseks.
Om itu membimbingku ke area parkir terbuka, dan ke mobil sedannya. Mobilnya memang tidak terlalu mewah dan kelihatan tidak baru, tapi sebuah mobil tetaplah sebuah mobil. Di dalam mobil itu, Om Irfan meremas-remas kontolku seraya berkata,
"Kamu ngaceng?"
"Iya nih, Om," sahutku malu-malu.
Jantungku masih berdebar dan tanganku dingin karena gugup. Mukamu memerah karena ketahuan ngaceng. Tapi Om Irfan tidak kelihatan keberatan, malah terlihat senang.
"Sama donk. Oh ya, panggil saya Irfan aja, ok?" jawabnya.
Saya mengangguk. Kemudian tanganku digenggam olehnya dan lalu dipindahkan ke celananya. Oh, Om itu juga ngaceng. Malu-malu tapi mau, kuremas-remas kontolnya. Mula-mula pelan, tapi lama-kelamaan kuremas agak lebih keras. Irfan hanya mampu mengerang-ngerang keenakkan, tanda bahwa dia menyukainya.
"Hhoohh.. Oohh.. Hhoosshh.." Genggaman tangannya pada kontolku juga makin mengeras dan dia berusaha untuk mengocok-ngocok kontolku dari balik celanaku.
Noda basah mulai muncul pada tonjolan celanaku. Saya benar-benar terangsang. Meskipun Irfan bukan tipe priaku tapi saya bersedia dingentot olehnya jika dia mau. Tak lagi malu, kuerangkan kenikmatanku.
"Oohh.. Aahh.." Irfan malah meremas kontolku lebih keras.
"Aarrgghh.. Irfan.. Enak.."
Om itu hanya tersenyum mesum saja. Kemudian, mobilnya dijalankan dan kami pun melaju di tengah keramaian lalu lintas malam. Di tengah perjalanan, kami masih saling meraba dan meremas kontol sehingga noda-noda precum di celana kami semakin melebar. Singkat kata, saya dibawa ke rumahnya. Rumah Irfan biasa-biasa saja, tak mewah sama sekali. Dengan santai, dia mengajakku masuk sambil berkata bahwa istri serta anak-anaknya sedang keluar kota dan baru pulang besok malam. Irfan membimbingku masuk ke kamarnya. Astaga, dia ingin berhomoan denganku di ranjang yang dia bagi dengan istrinya!
"Ah, kamu menggairahkan sekali," bisiknya, sambil menciumi leherku.
"Irfan, saya terangsang."
Kontolku ngaceng berat sejak di perjalanan, dan kini sudah membasahi celana panjangku. Kutunjukkan padanya noda precum itu dan dia hanya tertawa mesum. Irfan langsung memelukku dan meraba-raba tubuhku. Saya terlena dalam buaiannya.
"Aahh.. Oohh.. Aahh.." desahku.
Semakin saya mendesah, semakin berani Irfan menikmati tubuhku. Kedua tangannya mulai masuk ke dalam kaosku dan menyentuh-nyentuh bagian pribadi tubuhku. Saya semakin terlena dan membiarkan Om itu menikmati tubuhku. Saya merasa seakan-akan diperkosa oleh ayahku sendiri saja, sebab umur Irfan mungkin hampir sama dengan umur ayahku.
"Aahh.. Om.. Bugil yuk.. Aahh.."
Karena sudah bernafsu, saya ingin sekali melihat dia bugil. Om itu makin senang melihatku mabuk dengan nafsu birahi karena dia sendiri sudah tak tahan lagi ingin menyetubuhiku.
Dengan sensual, Irfan melepas kemejanya, berikut celana panjangnya. Badannya sangat merangsang nafsuku. Memang, Irfan tidak seperti seorang atlet; tubuhnya agak berlemak tapi tidak gemuk. Celana dalam putihnya nampak sesak dengan kontol ngacengnya. Tonjolan erotis itu nampak sangat menggiurkan. Langsung saja, kuremas-remas dadanya itu dan Irfan pun melenguh-lenguh seperti kerbau.
"Aahh.. Oohh.. Remas dadaku.. Aahh.. Pelintir saja putingku.. Aahh yyaa.. Oohh.." Irfan makin gila dengan nafsu setiap kali saya mengerjai putingnya. Nampaknya dia tertarik dengan stimulasi puting.
"Aahh.. Oohh.. Aahh.." Irfan mulai menggeliat-geliat.
Sementara saya sibuk menjilat-jilat dan menggigit-gitit putingnya, tanganku bergerak turun dan membelai-belai tonjolan celana dalamnya. Kutemukan batang kontolnya dan kuremas-remas. Cairan precumnya tembus lewat celana dalamnya dan membasahi tanganku. Ah, seksi sekali. Irfan mengerang makin keras saat kuremas kontolnya.
"Oohh.. Kamu juga bugil donk, sayang.."
Saya pasrah saja sat Irfan melolosi kaos dan celana panjangku, meninggalkanku berdiri di sana hanya dengan celana dalamku. Wajahku kembali memerah karena celana dalam yang kupakai saat itu adalah celana dalam usang. Banyak bekas noda-noda kekuningan menghiasai bagian depan celana dalamku, pertanda bahwa saya sering membasahinya dengan precum dan pejuh. Namun, Irfan sama sekali tak kebertaan. Sebaliknya, dia senang sekali mengetahui bahwa saya suka sekali dengan seks.
"Kamu pernah ngentot sebelumnya?" tanyanya melingkarkan tangannya di sekeliling pinggangku.
"Belum pernah. Tapi saya sering coli sambil lihat foto-foto panas atau baca cerita-cerita di 17Tahun," jawabku, memeluknya balik. Untuk pertama kalinya, saya bisa merasakan hangatnya tubuh seorang pria. Kehangatan itu terasa menenangkan dan sekaligus membuatku terangsang berat.
"Kamu mau dimasukin?" tanyanya seraya menciumi pipiku. Tangannya meremas-remas pantatku dengan keras.
Saya mengangguk-ngangguk. Kesempatan itu memang sudah kutunggu-tunggu. Saya bosan berfantasi, saya mau mengalaminya. Tawaran Irfan langsung kuterima.
"Ya, Irfan. Saya mau dimasukin. Saya mau dingentot. Please do fuck me."
Kuciumi dadanya untuk menekankan jawabanku. Irfan hanya tersenyum mesum dan kemudian memelukku lebih kencang. Bagaikan sepasang kekasih, kami memadu kasih dengan pelukan-pelukan mesra dan ciuman-ciuman erotis. Kubiarkan Irfan membimbingku masuk ke dalam dunia homoseksual. Kuperhatikan cara-cara Irfan menciumku dan kucoba untuk menirunya. Ciuman kami tak hanya melibatkan bibir saja, tapi juga lidah dan air liur. Kami benar-benar menyatu. Lidah kami saling bergulat dan air liur kami saling bertukar. Kurasakan dua tonjolan kecil menusuk kulit dadaku. Oh, rupanya kedua puting Irfan sudah tegang. Ah, seksi sekali.
Ketika pelukan kami terlepas, saya melepaskan sisi liarku. Kubiarkan nafsu birahiku mengontrolku. Seperti maniak seks, kuremas-remas tubuhnya yang seksi itu. Irfan hanya berdiri saja, membiarkanku melakukan apa yang kumau. Bibirku menjelajahi leher dan turun ke dadanya. Kemudian, kujilat-jilat dadanya sehingga dada Irfan berkilat-kilat karena basah. Khusus untuk kedua putingnya, kujilati dengan kuat agar tekanan lidahku lebih terasa. Lalu, kuputar-putar lidahku agar Irfan merasa putingnya seperti sedang dibelai-belai. Puas menjilat, kusedot-sedot putingnya seperti bayi yang sednag menyusu pada ibunya. Kusedot sekuat mungkin, sesekali kugigiti dengan pelan. Irfan nampak sangat menyukainya dan saya dihadiahi suara-suara erotis dari erangan-erangannya.
"Aarrgghh.. Hhoohh.. Hhoohh.. Aahh.." Mendengarnya, saya menjadi semakin bersemangat untuk menyenangkan Irfan.
Tapi lama-kelamaan, saya bosan dan ingin menjelajahi lagi. Maka kusapukan lidahku menuruni perutnya yang agak besar itu dan turun ke celana dalamnya. Saya berjongkok dan kini wajahku berhadapan langsung dengan tonjolan celana dalamnya. Aroma kontol begitu menusuk tajam. Aahh.. Saya masih agak gugup tapi saya mau melakukannya.
Pelan-pelan, kuturunkan celana dalam itu. Dan saya langsung disambut kontolnya yang tegang bak batang besi. Kontol terindah yang pernah kulihat. Panjang batangnya sekitar 15 cm. Kepala kontol Irfan bersunat dan jahitannya sempurna sekali, memberi kesan seolah-olah Irfan memang terlahir tanpa kulup. Noda-noda precum melumuri kepala kontolnya dan memberi efek mengkilap. Kudekatkan bibirku. Oh, akhirnya sebatang kontol begitu dekat denganku..
Bersambung . . . . . .