Bahkan, aku hanya mendesah "Jangan, mas" ketika merasakan jemari Jamal mulai meremasi payudaraku yang masih menantang ini. Namun aku tak berusaha memberontak. Toh Jamal hanya meremas dari luar, pikirku. Sementara bibir pria itu terus melumati bibirku. Tangan itu terus bergerilya, satu persatu kancing bajuku dilepasnya.
"Jangan, mas" Desisku lagi tanpa menolak dengan serius.
Toh, aku masih pakai BH, pikirku. Ugh, BH itupun diremas tangan Jamal berkali-kali. Kadang membuatku sakit, namun juga memberi rasa lain yang nikmat. Mataku malah terpejam erat ketika jemari Jamal bergerilya di bawah BH dan menggapai putingku.
"Egh jangan, mas" Aduuh nikmatnya. Toh, dia hanya memainkan payudaraku, tak apa-apa, pikirku semakin menikmati. Aku justru hampir tak merasa ketika baju dan behaku sudah dilempar Jamal entah kemana.
Yang terasa kemudian adalah payudaraku kiri-kanan bergantian diremas dan dihisap Jamal. Digigit-gigit, dikemot, disedot, "dimakan", dimainkan putingnya oleh lidah yang lihai dan tubuhku semakin tergial-gial ketika perut pun ditelusuri lidah berbisa Jamal.
"Aduh, aku tak tahan. Tak apa, toh Jamal hanya menjilati perutku" pikirku lagi menerima perlakuan nikmat itu.
Malah tanganku kini ikut meremasi kepala Jamal yang terus turun dan turun mencapai pusarku. Menjilati pusarku yang berlubang kecil, kemudian meluncur turun lagi, membuat geli sekaligus nikmat.
"Jangan, mas" lagi-lagi aku hanya mampu mendesiskan kata itu ketika terasa rok panjangku perlahan tertarik ke bawah.
Karet elastis di bagian perut tak mampu menahan tarikan itu, apalagi aku berpikir,
"Biar saja, toh aku masih pakai celana dalam"
Sekarang tinggal segitiga pengaman melekati tubuh polosku. Terasa pahaku dikangkangkan dan sesuatu terasa mengelus-elus daerah vitalku. Sesaat kemudian aku kembali merasa tubuhku ditindih Jamal yang menekan-nekankan penisnya ke CD-ku. Mulut kami berpagutan lagi. Tangan Jamal meremas-remas payudara lagi.
"Aduh aku tak tahan lagi" Kubalas perlakuannya yang liar dan aku tak mampu lagi mendesis, "Jangan, mas" ketika dengan cepat tangan Jamal menyabet CD hitamku dan melorotkannya ke bawah terus melepasnya dari kakiku.
Lalu sejurus kemudian kurasakan sesuatu yang panjang besar memasuki gua garbaku. Mula-mula perlahan dan agak sulit, menyakitkan. Namun lama-lama semakin dalam, lalu semakin cepat dan cepat keluar masuk, naik turun. Disertai lonjakan-lonjakan tubuh kekar di atasku yang memaksa pahaku terkangkang selebar-lebarnya. Rasa sakit pun berubah jadi nikmat.
Aku lupa segalanya, tak ingat siapa pria yang sedang menyetubuhiku. Jamal, salesman keliling, yang katanya berasal dari Bandung kubiarkan menyebadani, menggauli, menyenggamai, menembus, mengocok dan menggumuli tubuhku. Aku terlena dan yang ada hanya rasa nikmat yang harus kunikmati sepuasnya. Mumpung ada kesempatan, mumpung ada yang memberi, mumpung aku butuh, mumpung aku haus, mumpung ada yang memuasiku. Tubuhku masih butuh seks, libidoku masih tinggi, bibirku masih butuh diciumi, payudaraku butuh disedot-sedot, vulvaku butuh penis yang tegar panjang perkasa. Aku masih punya nafsu seks yang harus dipenuhi. Aku tak mau hidup gersang.
Dan, aku pun masih bisa orgasme ketika hunjaman zakar Jamal yang bertubi-tubi mencapai klimaks. Genjotan pantatnya begitu kuat membuat penis itu terbenam dalam-dalam di vulvaku yang sempit. Nikmat bertemu nikmat dan jreet jreet jreet kurasakan sperma Jamal menyemprot, sementara hampir bersamaan aku cepat-cepat menggamit paha Jamal sambil mengejan menumpahkan mani. Tubuh kami terkejang-kejang kelojotan sambil mengejan menggelegakkan sperma dan mani bertubi-tubi. Kedua kelamin kami yang bertemu saling berdenyut-denyut, meninggalkan kesan mendalam sehingga kami lama tidak melepaskannya. Kubiarkan burung Jamal itu tetap mendekam di sarangku meski lendir membasahi di mana-mana.
"Maaf ya, mbak, aku lupa diri," bisik Jamal.
Aku diam memejam, nafasku tersengal-sengal menahan beban tubuh polos di atasku. Sementara penis Jamal masih terbenam, aku hanya bisa kangkangkan paha dan merasakan denyut-denyutnya yang masih tersisa.
"Mengapa ini terjadi?"
Aku membatin tak habis mengerti bagaimana persetubuhan ini berlangsung begitu saja, padahal selama jadi pemijat aku selalu menghindarinya. Ya, selama ini ada cap bahwa setiap wanita pemijat pasti bisa diajak main seks. Aku berusaha keras menepis sebutan itu, namun akhirnya bobol juga hari ini. Justru dengan Jamal, pria yang sudah jadi langganan.
"Kalau sudah begini, apa bedanya aku dengan pelacur?"
Aku masih terbengong-bengong dengan pemikiranku, ketika kembali terasa tubuh Jamal menekan-nekanku. Zakar pria itu pun kembali membesar panjang mengaduk-aduk vulvaku. Ya, ternyata Jamal dengan cepat bangkit birahiya lagi dan bangunlah "adik"nya yang perkasa itu, kembali menikam-nikamku yang perlahan-lahan kembali terbawa arus kenikmatan. Malah ikut mengerang ketika nikmat bersebadan itu menyeruak di vaginaku. Tak ingat lagi, apakah aku pelacur atau bukan. Yang penting saat ini aku butuh nikmat! Persenggamaan pun terulang lagi, kali ini malah lebih lama. Hampir satu jam Jamal menusuk-nusukku, menghunjamiku dengan super torpedonya. Kadang pantatku diangkatnya atau aku yang mengangkatnya secara refleks karena terbawa nikmat tiada tara setelah beberapa tahun aku tak merasakannya. Sepertinya aku ingin memuntahkan seluruh kerinduan persetubuhan.
Aku kembali menggapit paha Jamal, ini kali yang ketiga aku orgasme. Tubuhku mengejang terlonjak-lonjak. Jamal sendiri memang tahan lama dan baru beberapa menit kemudian melenguh mengeluarkan energi terakhirnya menyemprotkan sperma. Sampai kurasakan hangat cairan itu memasuki perut. Kami benar-benar habis-habisan. Untuk berdiri pun harus menunggu beberapa menit setelah deru nafas mereda.
Jam enam kurang sedikit kutinggalkan hotel Melati. Jalanku seperti melayang, tak peduli dua lembar ratusan ribu yang baru saja masuk ke dompet, pemberian Jamal. Aku tak bisa menolak, tapi "Semoga Jamal tidak menganggapku pelacur murahan" pikirku.
"Kami melakukannya suka sama suka"
Kupanggil becak untuk mengantar ke rumah.
Itulah yang menjadi awal kisahku selanjutnya yang lebih mengejutkan karena aku kemudian terperosok ke jurang perzinahan yang lebih dalam dengan orang-orang yang semestinya kupeluk dengan kasih sayang. Namun, sebaliknya, justru merekalah yang akhirnya memelukku dengan nafsu.
*****
"Sampai malam begini, Laris bu?" sambut Bari, bungsuku yang kelas 3 SMU, ketika aku tiba di rumah.
"Lumayan" jawabku.
"Ini Ibu bawakan gorengan" kuberikan sebungkus makanan lalu terus berjalan ke kamar.
Banu, kakak Bari, mengangkat bungkusan batikku dan menaruhnya di atas lemari. Ia sudah empat bulan ini dipehaka dari pabrik sepatu di Tangerang bersama Basuki kakaknya. Jadilah tiga pemuda tanggung anakku sekarang jadi pengangguran dan kembali bergantung padaku di rumah. Ya, semuanya terjadi gara-gara krisis di negeri ini. Banyak perusahaan gulung tikar, pehaka terjadi dimana-mana. Cari pekerjaan pengganti juga sulit bukan main. Mau usaha sendiri, tak ada modal. Hanya kadang mereka jadi makelar jual-beli motor tapi inipun hasilnya cuma cukup buat jajan.
Seusai mandi dan makan, aku ingin cepat-cepat tidur. Tubuh cape sekali setelah tadi bertempur habis-habisan dengan Jamal di Hotel Melati.
"Ibu tidur dulu ya" kataku pada ketiga anakku yang sedang asyik main kartu.
Aku masuk ke kamar belakang. Rumah itu memang hanya memiliki dua kamar. Sejak dua anakku dipehaka maka satu kamar depan untuk Banu dan Basuki dan satunya di belakang untukku dan Bari. Kumatikan lampu lalu kubaringkan diri melepas penat.
Bayangan pergumulanku dengan Jamal ternyata tak kunjung hilang dari benak. Setengahnya ada rasa penyesalan, namun sebagian lain justru rasa nikmat itu terus bergelenyar di dadaku, di peruku, di kulitku, di vulvaku. Tak lama kemudian aku pun terlelap, ada seulas senyum di bibirku. Akankah di mimpi aku berjumpa Jamal lagi?
Ya, ternyata harapanku jadi kenyataan. Jamal muncul lagi di mimpiku. Kami bercumbu bagai sepasang kekasih yang lama tak bertemu. Tubuh telanjangku dibaringkannya di ranjang, kemudian dia merangkak di atasku. Menjilati sekujur tubuh dari perut naik terus hingga bibirku dan akhirnya agh, terasa sesuatu menusuk bawah perutku dengan keras dan tubuhku ditekannya dengan keras. Tubuhnya terasa semakin berat, berat, berat dan argghh!
Aku terbangun, dan.. mendapati sesosok tubuh sedang menindihku. Kurasakan selangkanganku telah ngangkang dan sesuatu memasukinya. Kubuka mata memperhatikan dan dalam sinar lampu yang masuk dari ventilasi terlihat Bari sedang menyetubuhiku! Gila!!
"Bar! Bari! Ini aku, ibumu, Bar!" protesku pada bungsuku yang masih 18 tahun sambil mendorong tubuhnya sampai terjengkang ke luar ranjang. Sekilas terasa penisnya yang tegang keluar dari vaginaku. Aku segera duduk di ranjang dan kututup tubuh telanjangku dengan selimut sambil memperhatikan Bari yang nampak ketakutan.
"Kenapa kau lakukan ini, Bar?" tanyaku emosi.
"Ttt ta tadi Ibu sendiri yang mulai"
"Apa? Ibu yang mulai?!" aku tambah sewot tapi tidak berani teriak keras-keras takut dua anakku yang lain terbangun.
"Bukankah Ibu tadi sudah tidur?"
"I..iya Bu tapi Ibu seperti mengigau lalu memelukku" bisik Bari.
Aku yang mendengar penjelasannya jadi mendelong. Sekilas aku ingat mimpiku bersama Jamal.
"Ibu terus memelukku dan ak aku jadi terangsang, bu.." Bari terus terang sambil menunduk. Sementara aku masih bertanya-tanya benarkah itu?
"Ceritakan apa yang sudah kulakukan padamu, Bar?" Sambil kutarik tangannya ke atas ranjang. Bari menurut sambil menutupi penisnya dengan sarungnya. Kududukkan ia di sebelahku.
"Waktu aku tidur, kudengar Ibu mengigau seperti orang gelisah dan tubuh Ibu bergerak-gerak. Lalu mendadak Ibu memelukku dan" Bari diam, aku pingin tahu kelanjutannya.
"Lalu?"
"Ibu menciumi aku"
"Apa benar?"
"Sumpah, bu." Jawabnya, membuatku jadi salah tingkah.
"Sebenarnya aku sudah berusaha membangunkan Ibu tapi gagal. Malah aku jadi terangsang Apalagi daster Ibu juga tak karuan lagi letaknya sampai paha Ibu terbuka"
"Aku tambah terangsang waktu tersenggol payudara Ibu berkali-kali dan terangsang untuk meremasnya Aku tambah berani ketika Ibu hanya mendesis waktu kuremas, sampai akhirnya pelan-pelan, maaf, Ibu kutelanjangi. Maaf Bu, nafsuku, sudah sampai ke kepala sampai aku menyetubuhi Ibu" cerita Bari sambil menunduk.
Aku terdiam, tak percaya apa yang kulakukan di dalam mimpi ternyata jadi kenyataan. Sialnya, aku telah bersetubuh dengan darah dagingku sendiri. Akhirnya akupun menerima penjelasan Bari.
"Baiklah, Bari. Ini jadi rahasia kita berdua saja. Sekarang tidurlah kembali," pesanku.
Bari segera melingkar di bawah sarungnya.
Akupun kembali berbaring sambil berselimut. Kami berdiam diri saling memunggungi. Begitu mengejutkan peristiwa tadi sampai aku tak ingat untuk memakai dasterku lagi yang entah dilempar kemana. Begitu pula Bari hanya bertelanjang di dalam sarungnya. Namun rasa capai mempercepat tidurku. Dan, mungkin, inilah salahku karena menganggap sepele peristiwa ini. Aku menganggap ini peristiwa kecil dan sudah berakhir, namun tidak demikian dengan Bari. Pemuda tanggung ini ternyata tetap memendam hasrat. Kuceritakan yang berikut ini berdasarkan pengakuannya setelah segala sesuatunya terjadi.
Malam masih panjang. Aku telah tidur kembali. Sementara itu, Bari justru tetap nyalang matanya. Tak ada lagi kantuk di benaknya. Yang ada justru ingatan bagaimana tadi dia baru saja menyetubuhi ibunya. Sayang, belum tuntas. Namun, kesempatan itu kayaknya masih terbuka, karena tubuh yang barusan digelutinya itu masih tergolek di sisinya. Telanjang dan hanya berselimut lurik. Andai saja selimut itu bisa dilepas, pasti bisa tuntas hasratku, pikir Bari.
Setelah terdengar dengkur halus ibunya, Bari mulai berani membalikkan tubuhnya sampai telentang. Diliriknya tubuh di samping kirinya dan tubuh Bari bergetar ketika melihat sebagian punggung atas ibunya tidak tertutup selimut. Sementara kain sarungnya sendiri yang hanya menutupi sekitar perut dan paha tak mampu menyembunyikan gejolak syahwat yang membuat zakarnya tegang berdiri. Dengan tak sabar dilemparnya sarung ke bawah ranjang hingga dirinya bugil, lalu perlahan berguling lagi sampai ia kini menghadap punggung ibunya. Didekatinya tubuh bungkuk udang ibunya dari belakang sampai bau wanita itu tercium kian merangsangnya.
Bersambung . . . .
0 comments:
Post a Comment